Teruslah Memberi Manfaat

Dr. Sirajul Munir, M.Pd
Wakil Rektor III UIN Mahmud Yunus Batusangkar

Sebelumnya, saya ingin memetik sebuah penggalan puisi indah dari seorang penyair kenamaan, Taufik Ismail:

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin Yang tegak di puncak bukit Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik Yang tumbuh di tepi danau Kalau kau tak sanggup menjadi belukar Jadi saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggir jalan Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya Jadilah saja jalan kecil Tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air.

Kita mungkin selalu bisa bermanfaat bagi banyak orang. Siapapun orangnya, bagaimanapun keadaannya, tak harus menunggu kaya, tak harus menunggu esok lusa. Mulai saja dulu, mungkin dari hal-hal kecil  yang kadang berdampak besar.

Dulu, Ibu seorang guru ngaji di rumah. Siap magrib, kediaman kami telah ramai dikunjungi anak-anak. Kelas rendah belajar juz amma, (belakangan Iqro’), kelas tinggi belajar Alquran.

Ibu–sepengetahuan saya–pantang baginya meminta bayaran uang ngaji (dulu namanya uang minyak, entah kenapa penyebutannya begitu, sampai kini akupun taktahu).

Biasanya pembayaran hanya dilakukan seminggu sekali, dengan jumlah yang tak seberapa, tepatnya malam jumat. Tapi, banyak sekali mereka yang tidak menyetorkannya.

Saat saya beranjak besar, kulihat banyak anak-anak ngaji yang jajan dengan jumlah lumayan banyak. Pikiranku waktu itu:  jangan-jangan uang minyak yang diberikan orang tuanya untuk gurunya, mereka alihkan untuk mengenyangkan perutnya, karena Ibu tak pernah meminta.

Sekali pernah saya minta agar murid-murid yang ngaji di rumah, yang kebetulan juga teman saya, untuk bayar uang minyak lantaran uangnya banyak.

Saat ibu tahu, ia langsung memarahiku. Setelahnya, aku tak mau lagi melakukannya.

“Jangan sampai ada yang berhenti ngaji gegara mereka tak punya uang. Biarkan saja, jika mereka punya kelapangan mereka akan bayar, tapi jika tidak,  biar Tuhan saja yang mencatat hal ini sebagai amal.” Begitu kata Ibu pada suatu waktu.

Ibu terlihat bahagia saat sedang mengajar. Jika hari hujan lebat, sedang murid-muridnya sedikit yang datang, ia tampak sedih.

Melihat anak yang pandai ngaji, Ielahnya seperti terganti. Jika murid kelas rendah telah lama belajar juz amma, Ibu akan memindahkan  ke kelas Alquran.

“Kenapa tidak dilancarkan saja dulu bacaan juz ammanya, tiba-tiba berpindah saja ke Alquran?” tanyaku waktu dulu.

“Anak-anak mudah bosan, nanti seiring waktu berjalan, pasti juga lancar. Sebab Alquran itu tebal, biarkan ia belajar sambil melancarkan.

Dari keikhlasan Ibu mengajar, dan keinginannya memberi kemanfaatan bagi banyak orang, Tuhan memberi banyak kemudahan. Walau secara kebendaan, tak banyak yang kami miliki, tak banyak uang bisa dikumpulkan, tapi entah bagaimana caranya, anak-anaknya sekolah semua.

Mungkin inilah yang dinamakan berkah.

Hari ini saya menjadi dosen di sebuah Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri. Kukira darah menjadi seorang pendidik dialirkan dari darah Ibu.

Banyak hal yang bisa aku lakukan disini: bertemu dengan banyak mahasiswa, mendidik dan mengajari mereka agar kelak punya bekal, menyalurkan bakat minatnya, mendengar keluh kesahnya, dan memelihara mimpi-mimpinya agar tak mudah terbakar.

Hari ini, banyak orang seakan telah kehilangan pegangan, kadang tak mempercayai lembaga pendidikan (kampus) yang dituduh menjadi sarang pengangguran. Masuknya sulit, belajarnya lama, prosesnya tak pernah mudah, UKT yang mahal, biaya hidup yang semakin tinggi, dan tamatannya tak menjanjikan masa depan. Orang tak lagi ingin berjuang, tak mau melalui jalan yang sulit. Inginnya instan. Hari ini ditanam, kalau bisa besoknya langsung dituai.

Memilih kampus tidak semudah memastikan masa depan. Tapi kita sedang berproses: belajar hidup mandiri, menjadi orang yang berfikir kritis, membuka wawasan, dan memperluas jaringan pertemanan. Pada ujungnya kita sedang dikarantina untuk berproses menjadi orang yang berkualitas yang nantinya sebagai bekal untuk memberikan manfaat untuk banyak orang.

Banyak mahasiswa yang baru saja tamat langsung putus asa memikirkan pekerjaan, lalu hitung-hitungan memikirkan berapa jumlah uang yang telah dikeluarkan.

Kuliah hanyalah jalan memanusiakan manusia. Hari ini profesi beraneka ragam. Tak harus menjadi pegawai negeri, tak harus bekerja pada bidang yang sama dengan latar belakang pendidikan, tak musti bekerja dengan orang lain, tak juga harus bekerja di kota besar. Apapun bentuk pekerjaan yang bisa memberi banyak kemanfaatan pastilah hal mulia.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengulang kata-kata yang pernah diucapkan oleh Buya Hamka:

“Ada orang yang telah lama meninggal, tapi ketika namanya dikenang, dan kebaikan-kebaikannya diperbincangkan, ia seakan hidup yang kedua kalinya.

Begitulah jika sebuah kebaikan ditanam, ia  akan selalu hidup lebih lama melebih umur kita di dunia.

“Sebaik-baik manusia adalah yang banyak kemanfaatannya untuk orang lain”.