Kolom  

Tersesat di Jalan yang Benar

(SEMANGATISLAM) Seperti terlempar di sebuah hutan belantara, tak tahu apa yang ada di dalamnya, berjuang meraba-raba, di mana jalan keluarnya. Begitu yang aku rasakan saat diterima kuliah pada jurusan yang salah.

Aku berasal dari kampung kecil–Air Bangis, Pasaman Barat-menghabiskan masa-masa sekolah juga di kampung, mulai dari TK sampai tamat SMA dengan segala keterbatasannya.

Pendidikan semua berlatar sekolah agama. Setelah lulus SD, dilanjutkan ke MTsN, lalu lanjut lagi ke MAN dengan jurusan A1 (Agama). Entah apa yang membelokkan keinginan saya sehingga setelah tamat MAN lebih memilih Jurusan Bahasa Inggris di IKIP Padang pada waktu itu.

Mungkin jurusan itu terlihat prestisius. Passing gradenya tinggi, sudah pasti peminatnya banyak, dan lapangan kerja setelah tamat menjanjikan. Hanya itu yang ada di pikiranku. Ayah dan Ibu tak pernah ikut campur, apalagi memaksa jurusan yang saya pilih. Semua diserahkan pada anaknya.

Di awal-awal, begitu tak nyamannya saya saat belajar, melihat kemampuan teman-teman selokal yang Bahasa Inggrisnya sudah cas cis cus. Ada yang terbiasa baca novel bahasa Inggris, menonton film berbahasa asing tanpa teks, malah ada yang pindahan dari kampus lain dengan jurusan yang sama, yang lainnya terbiasa les bahasa Inggris sejak SMP.

Untuk kualitas pendidikan harus aku akui bahwa kota jauh lebih unggul.

Hanya ada dua pilihan yang mungkin aku lakukan. Pertama, balik arah, pulang kampung, berarti harus berhenti kuliah. Ini tak mungkin saya pilih. Telah lama saya ingin merantau ke kota dan telah aku persiapkan juga segala kemungkinan terburuknya. Kedua, pindah jurusan. Ini juga tak bisa kulakukan. Dulu, mahasiswa yang diterima lewat jalur undangan (PMDK) tak boleh pindah jurusan, beda dengan yang diterima melalui jalur tes (UMPTN).

Maka mulailah saya belajar menerima segala kesulitan itu dengan lapang dada.

Saya teringat kata-kata guruku dulu, “Kita bisa, karena terbiasa dan dipaksa.”

Setiap hari saya memaksa diri belajar. Dua jam siang ditambah dua jam malam. Sisanya saya gunakan mengurus masjid, mengajar TPA dan melayani les privat dari rumah ke rumah. Saat mengerjakan tugas mata kuliah Listening, saya harus menggunakan tape recorder yang pada waktu itu saya tak punya.

Bersyukur seorang dosen, Ketua Jurusan, Ibu Prof. Hermawati Syarif membantu memberikan Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Ia tahu saya tinggal di masjid. Maka dana beasiswa tersebut saya gunakan untuk menunjang keperluan kuliah.

Dari pilihan jurusan yang salah, saya harus belajar berdarah-darah, mendisiplinkan diri, dan mengejar segala ketertinggalan agar bisa sejajar dengan kemampuan teman-teman.

Akhirnya benar, pada semester satu nilai saya hanya pas-pasan. Butuh waktu lama mengejar ketertinggalan dibanding teman-teman seangkatan yang kemampuan bahasa Inggrisnya telah khatam.

Pada semester kedua, saya mulai rileks belajar hingga bisa meraih IP 3,23. Saya juga mulai bergabung dengan organisasi keagamaan di kampus, berinteraksi dengan banyak orang dan bisa sharing dengan senior satu jurusan dan lainnya.

Beberapa dosen, ada yang selalu mendukung pencapaian-pencapaiaan saya, semisal Pak Zul Amri, Pak Saunir, Pak Kusni, dan lainnya yang selalu memberi nilai bagus setiap mata kuliahnya.

Perlahan-lahan saya mulai jatuh cinta dengan Bahasa Inggris, hingga berani menerima jasa terjemahan dan les private lebih banyak. Kemampuan sayapun semakin terasah.

Jika saya diminta mengajar oleh sebuah organisasi kampung halaman, yang bayarannya harga persahabatan, tetap saya sikat, sebab hal-hal kecil itulah yang membawa pengaruh besar dalam perjalanan saya menjadi mahasiswa Bahasa Inggris.

Sungguh saya berhutang banyak pada dosen-dosen yang mengajar pada prodi Bahasa Inggris: kadang galak, jika lagi sial kita mungkin dipermalukan di depan kelas karena masih belum mengerti hal-hal mendasar, tapi soal kualitas dan kemampuannya mengajarnya takperlu diragukan. Waktu saya kuliah, banyak senior-senior yang diterima bekerja. Paling tidak mereka akan jadi incaran bimbel-bimbel terkenal lantaran latar belakang ilmu pendidikan mengajar yang mumpuni.

Setelah tamat S-1, saya melanjutkan lagi kuliah S-2 pada kampus dan bidang yang sama. Berbekal beasiswa BPPS yang saya terima, tanpa membayar biaya masuk, tanpa memikirkan biaya kuliah, bahkan biaya hiduppun ditanggung, kuliah terasa lebih mudah. Bagai bumi dan langit, jika saya membandingkan dengan proses yang saya jalani waktu S-1 dulu. Saya takpernah menyia-nyiakan peluang dan kesempatan ini. Tenaga saya untuk belajar lebih saya lipatgandakan sehingga saya berhasil lulus dengan IPK 3.91, the best graduate.

Setelahnya saya lanjut lagi ke jenjang berikutnya. Sebagai dosen pada sebuah perguruan tinggi, saya harus tetap menambah kuliah, karena tuntutan kampus. Saya tetap memilih jurusan yang linear dengan bidang ilmu saya. Saya bukan tipe mahasiswa yang suka leha-leha.

Saat mengambil S-3 di Universitas Negeri Semarang sembari memboyong istri dan anak, saya tetap belajar lebih tekun. Semakin benar saya belajar semakin bagus nilai, semakin cepat tamat, semakin cepat saya kembali mengajar.

Alhamdulillah, saya tamat S-3 dengan IPK 3.97, dinobatkan sebagai the best graduate sekaligus diminta untuk memberikan testimoni di depan para wisudawan.

Jika dulu saya memilih menyerah karena jurusan yang saya pilih salah, mungkin akan menjadi penyesalan yang aku sesalkan bahkan untuk seumurhidupku.

Mungkin saya tersesat, tapi tersesat di jalan yang benar.