Kolom  

Survei dan Politik Pencitraan: Mempertanyakan Kejujuran dalam Demokrasi

Novi Budiman, S.IP, M.Si

Dosen Prodi  Pemikiran Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar dan Peneliti

 

Menjelang kontestasi Pilkada (pemilihan Kepala Daerah) yang akan berlangsung November 2024 mendatang  di berbagai Propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Masyarakat  disajikan berbagai hasil survey  terkait popularitas dan elektabilitas masing-masing   kandidat yang akan  akan betarung dalam kontestasi pilkada.

Dalam konteks politik modern, survei dan politik pencitraan menjadi dua elemen yang semakin sulit dipisahkan. Kedua hal ini sering digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi opini publik dan menciptakan persepsi tertentu tentang kandidat atau partai politik.

Namun, penting untuk mengkritisi dampak dari penggunaan survei dan politik pencitraan ini terhadap kejujuran dalam proses demokrasi. Survei politik sering kali digunakan sebagai barometer untuk mengukur dukungan publik terhadap kandidat atau kebijakan tertentu.

Meski demikian, kita perlu menyadari bahwa hasil survei bisa dimanipulasi atau dipersepsikan dengan cara yang menyesatkan. Metodologi yang digunakan, ukuran sampel, serta cara pengumpulan data semuanya dapat mempengaruhi hasil akhir.

Survei yang dilakukan oleh lembaga dengan afiliasi politik tertentu mungkin akan memberikan hasil yang bias, yang tidak merepresentasikan realitas di lapangan secara akurat. Politik pencitraan adalah seni memoles penampilan dan citra seorang kandidat agar terlihat ideal di mata publik.

Dalam era media sosial dan informasi instan, politik pencitraan menjadi sangat efektif. Namun, ini juga menimbulkan masalah karena sering kali pencitraan ini tidak mencerminkan kompetensi, integritas, atau visi nyata dari seorang kandidat.

Alih-alih memilih berdasarkan kualitas dan program kerja yang ditawarkan, pemilih bisa saja terjebak dalam perangkap pencitraan yang hanya menjual ilusi dan janji-janji tanpa dasar. Penggunaan survei yang bias dan politik pencitraan berlebihan dapat merusak kualitas demokrasi.

Pemilih yang disuguhkan dengan hasil survei yang tidak akurat dan pencitraan yang manipulatif akan kesulitan membuat keputusan yang benar-benar berdasarkan informasi yang valid. Ini dapat mengarah pada terpilihnya pemimpin yang tidak kompeten atau tidak jujur, yang pada akhirnya merugikan masyarakat dan negara secara keseluruhan.

Media massa memainkan peran penting dalam menyampaikan hasil survei dan membentuk pencitraan politik. Oleh karena itu, media harus bertanggung jawab untuk menjaga independensi dan objektivitas dalam pelaporan. Selain itu, edukasi publik tentang cara kritis membaca hasil survei dan mengenali taktik pencitraan juga sangat penting.

Masyarakat yang lebih terdidik dan kritis akan lebih sulit terpengaruh oleh manipulasi data dan pencitraan palsu. Untuk memperbaiki situasi ini, kita perlu mendorong transparansi yang lebih besar dalam proses survei politik, termasuk siapa yang mendanai survei tersebut dan bagaimana data dikumpulkan serta diolah.

Selain itu, kita perlu menuntut kejujuran dan akuntabilitas dari para kandidat politik. Pencitraan yang berlebihan harus diimbangi dengan fakta dan bukti nyata mengenai kinerja dan komitmen kandidat. Survei dan politik pencitraan adalah dua alat yang sangat kuat dalam politik modern, tetapi mereka juga dapat menjadi senjata yang merusak jika tidak digunakan dengan hati-hati dan transparan.

Untuk menjaga integritas demokrasi, kita harus selalu kritis terhadap hasil survei dan pencitraan politik, memastikan bahwa keputusan pemilih didasarkan pada informasi yang akurat dan penilaian yang jujur terhadap para kandidat.