Novi Budiman, S.IP., M.Si
Dosen Prodi Politik Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 semakin mendekat, dan dinamika politik lokal kian memanas. Pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu menjadi momen krusial dalam menentukan arah pembangunan dan kebijakan daerah. Namun, di tengah euforia demokrasi lokal ini, Salah satu fenomena yang menjadi perhatian publik adalah munculnya “koalisi kawin paksa.”
Istilah ini mengacu pada koalisi partai politik yang terbentuk bukan berdasarkan kesamaan visi atau ideologi, melainkan demi strategi pragmatis untuk memenangkan kontestasi. Fenomena ini membawa berbagai dampak negatif yang patut kita cermati.
Di satu sisi, koalisi merupakan bagian integral dari sistem politik demokratis. Dalam sistem multipartai seperti di Indonesia, seringkali tidak ada satu partai yang mampu memperoleh mayoritas suara. Oleh karena itu, berkoalisi menjadi jalan tengah untuk membangun kekuatan politik yang lebih besar dan mencapai kestabilan pemerintahan.
Namun, yang perlu dipertanyakan adalah motif di balik pembentukan koalisi tersebut. Koalisi yang dibangun atas dasar kesamaan visi dan misi tentu merupakan hal positif. Ini menunjukkan bahwa partai-partai yang berkoalisi memiliki pandangan yang sejalan mengenai arah pembangunan dan kebijakan publik.
Sebaliknya, koalisi yang terbentuk hanya demi menggabungkan kekuatan suara tanpa mempertimbangkan kesamaan prinsip seringkali berakhir pada pemerintahan yang tidak harmonis dan tidak efektif. Di tingkat daerah, pragmatisme politik seringkali lebih menonjol dalam pembentukan koalisi.
Kandidasi pilkada menjadi ajang dimana partai-partai politik dan kandidat independen berlomba-lomba meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Dalam konteks ini, tidak jarang muncul koalisi kawin paksa yang melibatkan partai-partai dengan ideologi yang berbeda, bahkan bertolak belakang.
Fenomena ini kerap didorong oleh dua faktor utama. Pertama, kekhawatiran tidak mampu meraih suara mayoritas jika maju secara mandiri. Kedua, adanya tekanan dari elit politik di tingkat nasional yang memiliki agenda tersendiri. Akibatnya, koalisi yang terbentuk cenderung rapuh dan rentan konflik internal, yang pada akhirnya mengganggu kinerja pemerintahan daerah.
Koalisi kawin paksa tidak hanya berdampak negatif pada stabilitas politik daerah, tetapi juga pada kualitas pemerintahan. Ketika koalisi dibentuk tanpa landasan ideologis yang kuat, keputusan-keputusan strategis seringkali diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan yang tidak sejalan. Hal ini mengakibatkan kebijakan publik yang dihasilkan menjadi tidak konsisten dan kurang efektif.
Lebih jauh lagi, koalisi kawin paksa juga berpotensi mengurangi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Masyarakat yang melihat koalisi hanya sebagai alat untuk meraih kekuasaan tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat akan menjadi apatis dan kehilangan kepercayaan terhadap partai politik. Ini merupakan ancaman serius bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya serius dari berbagai pihak. Partai politik harus lebih selektif dalam membentuk koalisi, memastikan bahwa kerja sama yang dibangun didasari oleh kesamaan visi dan misi, bukan semata-mata untuk meraih kekuasaan. Selain itu, peran masyarakat sangat penting dalam mengawasi dan mengkritisi proses politik, agar para aktor politik lebih bertanggung jawab dalam setiap keputusan yang diambil.
Pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi momentum untuk membuktikan bahwa demokrasi lokal dapat berjalan dengan lebih baik dan bermartabat. Koalisi yang terbentuk harus mampu mencerminkan aspirasi rakyat dan berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Hanya dengan demikian, kita dapat mengembalikan kemurnian demokrasi dan membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Pilkada dan koalisi kawin paksa adalah dua sisi dari koin yang sama dalam politik lokal di Indonesia.
Meski koalisi adalah strategi politik yang sah, motif di balik pembentukannya haruslah murni dan demi kepentingan rakyat. Dengan upaya bersama untuk menjaga kemurnian demokrasi, kita dapat memastikan bahwa pilkada benar-benar menjadi ajang untuk memilih pemimpin yang terbaik dan mampu membawa perubahan positif bagi daerah.