Mengenang Kebaikan Seorang Kepala Madrasah

Oleh: Sirajul Munir

Wakil Rektor III UIN Mahmud Yunus Batusangkar

Setelah lulus SD, saya langsung mendaftar ke MTsN, tanpa ditemani Ayah, tanpa ditemani Ibu. Prosesnya mudah, jauh dari kata ribet. Hanya ada dua pilihan sekolah di kampungku waktu itu: kalau tidak SMP ya MTsN.

Saya sengaja tak memilih SMP, lantaran pakaian seragamnya masih celana pendek.

Terbayang di dalam kepala, saya yang bertubuh kecil memakai pakaian dengan celana pendek, mungkin terlihat seperti anak SD yang diantar orang tuanya ke sekolah.

Sebagian teman saya yang lain, tak masuk SMP karena malu kakinya telah ditumbuhi banyak bulu. Jadi bukan lantaran di MTsN banyak porsi pelajaran agama, bukan pula karena mereka ingin menjadi lebih saleh.

Tapi, saya merasakan tak pernah rugi membuat keputusan. Kepala  madrasah kami bukan orang sembarangan, ia sangat berwibawa, berkarisma, disegani bukan saja oleh muridnya, bahkan orang-orang kampung kami. Rerata Ayah dan Ibu kami bekas murid-muridnya.

Hal yang takbisa saya lupakan dari beliau; jika meminta uang SPP (kebetulan saya dan beberapa orang teman langganan menunggak pembayaran SPP) ia selalu menggunakan kata-kata penuh kiasan.

“Hari ini, kita telah memasuki tanggal 50 Mei, tolong bagi yang belum bayar SPP Juni, disegerakan, apalagi yang belum lunas pembayaran bulan Mei.”

Begitu cara halusnya minta SPP. Tanggal 50 Mei artinya 20 Juni. Kami biasanya senyum saat kalimat itu diucapkan. Jika sudah banyak tunggakan, sesekali kami akan menjemput pulang.

Kepala madrasah punya banyak kepandaian, penamaan orang-orang kini, multi talent. Kadang buat naskah drama yang selalu ditampilkan saat acara perpisahan sekolah. Bukan saja untuk anak MTsN, tapi juga permintaan dari sekolah-sekolah lain, seperti MAN dan MIN.

Kepandaian lainnya, ia ahli main gitar, bahkan bisa menciptakan lagu. Dulu kalau ada acara-acara resmi, lagu tersebut sering dinyanyikan oleh penduduk lokal dan anak-anak sekolahan karena syairnya memuat keindahan kampung kami Air Bangis. Saya ingin memetik penggalan lagunya nan indah:

Air Bangis negeriku permai

Di lingkung pulau nan sembilan

Pantai landai cantik menawan

Siapa yang datang memandang

 

Air Bangis kuala tenang

Berkerudung teluk nan indah

Simpanan kekayaan alam

Tumpuan hidupnya nelayan

 

Di sana aku dilahirkan

Di sana aku dimanja

Di sana kudibuai bunda

Sayang kau tetap kukenang

 

Luar biasa syairnya, sungguh merinding kala mendengarnya.

Kampung kami selalu menjadi incaran dan tujuan wisata. Apalagi saat-saat liburan dan lebaran, selalu ramai dikunjungi.

Saya ingin mengenang kembali pelajaran-pelajaran berharga yang pernah dibagikan Bapak M. Djoewadi, Kepala MTsN kami dulu.

#1

“Jika pada diri seseorang telah tertanam keinginan yang dalam untuk sekolah, takkan ada yang bisa menghalanginya, takkan ada yang bisa mencegahnya.”

Seperti air mengalir yang takbisa dibendung, ia akan lari ke bawah atau ke kiri atau ke kanan.

Hanya orang yang tidak ingin berubah yang suka mencari-cari alasan, sebagai pembenaran atas kemalasan.

“Kenapa tidak sekolah? Karena takada biaya. Itu bohong. Bukan biaya yang kalian takpunya, tapi tekad yang telah hilang.” begitu katanya.

“Dalam sejarah, banyak orang-orang kampung dari golongan ekonomi kelas bawah yang berani kuliah. Ia bisa berjuang: bekerja, melaut di saat hari-hari libur (libur semester) sambil menabung, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk biaya masuk. Nanti saat kuliah bisa tinggal di masjid menjadi marbot, sebab di madrasah, kita telah dibekali ilmu-ilmu dasar menjadi Muazzin, Imam, Khatib Jumat, dan mengajar baca alquran.” Katanya melanjutkan.

Seorang teman Ibu saya, pernah bercerita, jika dulu anaknya sempat kuliah di kota hingga semester 5, tapi karena tak tahan dengan keterbatasan kiriman orang tuanya, memilih berhenti, putus di tengah jalan. Padahal menurut ukuran saya, mereka orang berada, yang kekayaannya jauh melampaui pendapatan orang tua saya. Bukan uangnya yang tak cukup, tekadnya yang rapuh.

#2

“Pandai-pandailah menempatkan diri dimanapun kamu tinggal. Jadikan dirimu disukai banyak orang. Kehadiranmu dirindukan, dan kepergianmu membuat orang kesepian, seolah ada yang hilang.”

Ia lalu melanjutkan:

 

Jika kalian merantau, lalu tinggal di rumah seseorang, coba ringankan tangan, sapu halaman rumahnya, perlakukan anaknya dengan baik, mungkin kalian bisa mengajarinya belajar atau bermain. Barangkali kalian akan dianggap sebagai anaknya sendiri.

Bayangkan, kalian merantau, tinggal di rumah seseorang, takmau bertegur sapa, pemalas, takbisa diandalkan, uang kos selalu terlambat. Mungkin hanya menunggu waktu kita akan disuruh pergi.

#3

“Bagi kalian yang laki-laki, berapa uang yang dihabiskan hanya untuk gunting rambut,  padahal kalian bisa belajar teknik memangkas. Kumpulkan anak kecil tempat kalian tinggal, belajarlah menggunting rambut mereka, gratiskan saja dulu, nanti kalau sudah mahir, kelak nanti bisa jadi cuan.”

“Bagi kalian yang perempuan, belajar memasak   makanan yang laku dijual, titipkan ke warung-warung yang ramai pembeli, seperti dekat sekolah, dekat lapangan, atau pasar.”

#4

“Jangan pernah mengabaikan masalah kesehatan. Banyak anak-anak yang gagal lantaran sakit-sakitan. Mau ujian, badan demam hingga tak bisa belajar, nilai jadi hancur-hancuran. Ketika ingin mengikuti perlombaan yang sudah dipersiapkan dengan matang, batal jelang keberangkatan karena tiba-tiba sakit. Giliran dipilih kemah pada acara kepramukaan tiba-tiba tubuh lemah.”

Lalu ia menambahkan:

“Belajarlah memperhatikan makanan yang masuk ke dalam perut. Jangan asal enak. Giliran yang pahit-pahit langsung ditinggalkan.”

Ia pernah didatangi oleh orang tua yang anaknya selalu sakit, hampir tiap bulan, sering minta izin pada guru kelas untuk tidak masuk. Lalu menyarankan, “Coba wiridkan makan daun pepaya yang sangat banyak khasiatnya: menjaga daya tahan tubuh, menghindari penyakit malaria, mencegah demam berdarah, juga mengatasi masalah pencernaan.”

Daun pepaya tersebut bisa direbus untuk diminum airnya, atau dijadikan sayur sebagai temannya nasi.

Sejak anaknya membiasakan makanan yang ia anjurkan, sekarang taklagi sakit-sakitan.

Hari ini, Bapak Kepala MTsN kami yang dulu telah berpulang. Tapi ketika kebaikan-kebaikannya disebut dan jasa-jasanya dikenang, seakan ia hidup untuk kedua kalinya.

In Memoriam Pak M. Djoewadi

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.

Aamiin