Historiografi Al Farabi
Riwayat Hidup Al-Fārābi Abu Nashr Muhamad Ibn Muhamad Ibn Tarkhan Ibn alUzalagh, al-Fārābī dilahirkan di Wasij Distrik Fārāb (yang juga dikenal dengan nama Otrar) di Transoxiana (sekarang Uzbekistan), pada tahun (257H/870 M).beliau wafat di Damaskus pada 950 M. pada usia 80 tahun di Aleppo.
Di Eropa al-Fārābī lebih dikenal dengan nama Alpharabius atau Avennasr.4 Al-Fārābī seorang filosofis Islam berkebangsaan Turki, lahir di sebuah pedusunan terkenal dengan nama Bousij daerah kelahirannya.
Panggilan al-Fārābī diambil dari nama daerah kelahirannya. ayahnya adalah seorang opsir tentara keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan nama kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki) ibunya berkebangsaan Turki. mengabdi kepada pangeran-pangeran Dinasti Sam‟aniyyah.
Sejak kecil, al-Fārābī suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan, bahkan ada yang mengatakan bahwa al-Fārābī dapat bicara dalam tujuh puluh macam bahasa, tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa : Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.
Pada waktu mudanya al-Fārābī pernah belajar bahasa dan sastra Arab di Baghdad kepada Abu Bajkar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan belajar kepada Yuhana ibn Hailam.
Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad. Akan tetapi, tidak beberapa lama ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun.
Di Baghdad pula ia membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajar. Di antara muridnya yang dikenal yaitu Yahya ibn „Adi, filusuf Kristen.
Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan Saif Ad-Daulah AlHamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang besar sekali, tetapi al-Fārābī memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham saja setiap hari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Selanjutnya, sisa tunjangan yang diterimanya, di bagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus.9 Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya al-Fārābī di Damaskus adalah al-Fārābī bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih dan kaum cendekiawan lainnya.
Lebih kurang 10 tahun al-Fārābī tinggal di Aleppo dan Damaskus secara berpindahpindah akibat hubungan penguasa di antara kedua kota ini semakin memburuk. Sehingga Saif Ad-Daulah menyerang kota Damaskus yang kemudian berhasil menguasainya.
Al-Fārābī memiliki pengetahuan yang luas, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik. Al-Fārābī orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran.
Kehidupan yang gemerlap dan kemegahan di istana tidak memengaruhinya, dan dalam pakaian seorang sufi dia membebani dirinya dengan tugas berat ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana gemercik air sungai dan di bawah dedaunan dan pepohonan yang rindang.
Al-Fārābī hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu. Sehingga tidak dekat dengan penguasapenguasa Abasiyah waktu itu. Al-Fārābī mukim di Syiriah hingga wafat pada bulan Rajab tahun 339H/950 M meninggal pada usia delapan puluh tahun.
beliau dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil kota bagian selatan. Upacara pemakaman dipimpin oleh Saif alDaulah yang diikuti oleh beberapa anggota istananya.
Kondisi sosial politik Masa Al Farabi
Kondisi Sosial Politik dan Gerak Intelektual Al-Fārābī hidup pada priode masa pemerintahan Abbasiyyah. Satu massa dimana dari sisi politik, khalifah-khalifah yang memerintah di Baghdad tidak lagi kuat seperti sebelumnya, sehingga mereka tidak kuasa melawan para perwira pengawal keturunan Turki.
Al-Fārābī lahir pada masa pemerintahan Al-Mu‟taaddid (870-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Mu‟ti suatu priode yang paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu timbul banyak macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan berbagai motif :Agama, kesukuan, dan kebendaan.
Banyak anak raja dan penguasa lama berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekuasaan nenek moyangnya, khususnya orang-orang Persia dan Turki. Dan dari sisi intelektual dan ideologi ditandai dengan munculnya kembali pengaruh ajaran salaf menyusul memudarnya aliran Mu‟tazilah.
Periode kedua massa Abbasiyyah bisa juga disebut dengan priode akhir Abbasiyyah, dimana kekuasaan para khalifah mengalami kemunduran, sedangkan yang berkuasa sesungguhnya Dinasti-dinasti baru yang sebagian besar berasal dari Turki dan Persia yang berada di batas luar pemerintahan.
Namun, pada puncaknya justru Dinasti-dinasti baru itu yang menguasai Baghdad sementara khalifah hanya menjadi boneka di tangan mereka. Kemunduran kekuasaan khalifah ini bermula dari kebijakan khalifah al-Mutasim (833-842 M). Seorang khalifah turunan Turki untuk menjadi tentara pengawalnya.
Dengan kebijakan khalifah alMutasim tersebut, pengaruh Turki mulai masuk ke pemerintahan Bani Abbas, dan para tentara atau pengawal ini kemudian begitu berkuasa di Istana, sehingga khalifah-khalifah yang semula berkuasa pada akhir hanya menjadi boneka di tangan mereka.
Faktanya yang memerintah dan berkuasa bukan lagi para khalifah melainkan perwira-perwira dan tentara pengawal Turki. Pada massa khalifah al-Watiq (842-847 M) ada upaya untuk melepaskan diri dari pengaruh Turki dengan mendirikan Ibu kota Samarra dan pindah dari Baghdad.
Namun, hal itu menjadikan para khlifah semakin mudah dikuasai oleh tentara pengawal Turki. AlMutawakkil (847-861 M) merupakan khalifah besar terakhir dari bani Abbas. Khalifah-khalifah yang sesudahnya pada umumnya lemahlemah dan tidak dapat melawan kehendak tentara pengawal dan sultansultan yang datang mengasai ibu kota, kemudian ibu kota dipindahkan kembali ke Baghdad oleh Khalifah Mu‟tadid (870-892 M).
Inilah zaman yang berbeda, kendatipun pada umumnya dimana-mana diwarnai oleh semangat Islam yang besar. Mu‟tazilah belum takluk oleh Asy‟ariyah. Hambaliyah mengalami kebangkitan. Para Faqih dan teolog Syi‟ah yang untuk pertama kalinya mendapat dukungan dari dinasti-dinasti yang juga menganut Syi‟ah mulai merumuskan peraturan-peraturan hukum dan kredo mereka, setelah ghaibnya imam kedua belas.
Inilah zaman ketika tasawuf aktif, namun juga zaman ketika tasawuf mendapat penganiayaan yang giat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh eksekusi atas Al-Hallaj (922 M) dan sufi lainnya. Pada umumnya, di Baghdad kecenderungan ideologis yang dominan adalah kecenderungan konservatisme dan Intoleransi.
Namun, di sisi lain masih ada gerakan yang mendorong kebebasan intelektual dan literer serta membangun kehidupan yang multikultural dan multirasial yang dipelopori oleh Dinasti Samaniyah dan Hamdaniyah. Penguasa Samaniyah pada masa itu adalah Nasr Ibn Ahmad dan Ismail Ibn Ahmad.
Sementara zaman keemasan Samaniyah sendiri pada pemerintahan Nasr Ibn Ahmad. Penguasa Samaniyah keIV. Sejak masa pemerintahan Nasr II perpustakaan Samaniyah di Bukhara adalah yang paling terkenal sebagai pusat ilmu dan kesusastraan.
Al-Fārābī sendiri setelah banyak pendidikannya di Bukahara dia meneruskan pergi ke Baghdad yang pada masa itu Baghdad memiliki akses sumber-sumber pengetahuan yang tidak ada di Bukhara, seperti ilmu logka, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan demikaian pada masa al-Fārābī terjadi pergolakan dan peperangan arus pemikiran di Baghdad, Yaitu: pertama, rasionalisme kalam Mu‟tazilah yang pada mulanya berpengaruh pada kekuasaan yang mulai tersingkir dan digantikan oleh kaum salaf. Kedua, adanya ketegangan antara ulama fiqih dengan kaum sufi.
Bersama dengan itu di Bukhara dimana tempat al-Fārābī menghabiskan masa mudanya terjadi perkembangan dan sastra yang sangat pesat, sedangkan di Aleppo (sekarang Siria) dan Damaskus dua tempat dimana al-Fārābī menekuni karier intelektual dan menghabiskan masa tuanya.
Berkembang pemikiran filsafat-filsafat dan logika yang sangat besar. Al-Fārābī sendiri faham dengan trend besar zamannya ini karena dia menyaksikan bahkan terlibat langsung dalam gerak intelektual tersebut.
Karya-Karya Al-Fārābī
Al-Fārābī tidak dikaruniakan umur panjang untuk meneruskan penulisan buku-buku ilmiahnya. Ia tidak banyak meninggalkan buku seperti tokoh-tokoh filsafat Islam lainnya seperti Al-Kindi atau Ibn Sina. Banyak buku-buku al-Fārābi yang hilang seperti buku tentang semantik.
Namun banyak juga buku-buku al-Fārābi yang masih ada dan masih dipakai oleh kalangan seluruh umat manusia di dunia. Pandangan dan karya-karyanya mengandung decak kagum dan perhatian para orientalis dan pemikir barat.
Ia berjasa memuluskan jalan bagi kemunculan Ibnu sina dan Ibnu Rusyd dalam blantika filsafat dan pemikiran. Al-Fārābī adalah filosof yang pertama kali memperkenalkan tentang wajib al-wujud dan mukmin al-wujud.
Ia pula yang mempersembahkan sebuah metode argumentasi efektual tentang ketuhanan sesuai ayat-ayat suci al-Quran yang menganjurkan perenungan terhadap alam semesta.Tampaknya al-Fārābī menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab.
menurut salah satu pendapat jumlah karya alfarabi sebanyak 40 berjudul yang difokuskan pada kajian mengenai logika. Dalam bidang ini, dia menulis komentar atas seluruh bagian Organon-nya Ariestoteles, di samping komentar atas Isagoge, karya Porphyry. Di luar komentar-komentar tersebut, al-Fārābī juga mmenulis risalahrisalah pendek tentang aspek-aspek tertentu logika.
Karyanya yang menarik dan penting dalam kategori ini adalah tulisan-tulisannya mengenai hadis Nabi Saw, yang dikumpulkan dengan tujuan menganjurkan seni logika Ariestoteles. Karya-karyanya yang lain meliputi cabang filsafat yang lain, yakni fisika atau filsafat alam (natural philosophy), termasuk psikologi.
Disamping beberapa karya yang dikhususkan untuk menyangkal pandangan-pandangan beberapa filosof dan ahli teologi tertentu tentang fisika. Kategori penting lain dari karya al-Fārābī adalah kira-kira lima belas tulisan tentang ilmu-ilmu metafisika di samping logika di antara ilmu-ilmu teoritis, di bidang inilah al-Fārābī dianggap menyumbang paling besar bagi wacana filsafat abad pertengahan.
Di antara karya– karyanya adalah , fushus Al-hikam Al-jam’bain Ra’yai Al-hakimain Aflatun Al-ilahi wa Ariestuthalis (kitab keselarasan pikiran Plato dan Ariestoteles), Ahkam Al Nujum, alkemi, al-ulum al-madani), Ihsaha’aul ‘Ulum (statistik ilmu), Al Madinatul Fadhilah (Negri Utama) dan Al-Musiqiy Al-Kabir (Musik Besar),
Risālah fi jawāb al-Masā’il Su’ila’nhā dan Risālah fi Qawānin Shina’at al-Syi’r, al-Alfaz al-Mustamalah fi al-Mantiq (istilah-istilah logika), fi al-Mantiq (pengantar logika), Syarh Kitāb al-Sama’ al-Thabi’i li Arristhūthalis serta Syarh Maqālat al-Iskandar al-affrudisi’i fi al-Nafs. fi al-Khala’, kalām fi al-A’dha’ al-Hayawan,Kalim fi al-Haiz Wa al-Miqdar dan Maqālat fi Ma’āni al-Aql,
Kitāb al-Raad Alā jalinus fi MāTa Awwluhu Min Kalām Aristhū dan kitab al-Raad Alā Ibn al Rawandi fi al-Adab alJadal, dan Al-Raad Alā Yahya al-Nahwi fi MāRaddahu Alā Aristhū serta kitab al-Raad Alā al-razi fi al-Ilm al-Ilāhi. fi Mā Lā Yashihh Min Ahkām al-Nujūm, Maālat fi Aghradh Mā Ba’d al-Thabi’ah dan kitab al-Hurūf dan lain-lainnya.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber