(Sekilas kajian poskolonial akar kekerasan di bumi 3 agama Ibrahimik merespon aksi kekerasan dan pelanggaran HAM militer Israel)
Oleh: Thaufan Malaka
(PhD Candidate GSID Nagoya University, Jepang)
Semangat Islam – Palestina, kata Edward W. Said, adalah sebuah perdebatan, perjuangan besar dan proyek perlawanan yang belum selesai. Palestina bukan hanya soal kebiadaban tertumpahnya darah anak-anak dan sipil yang menjadi tontonan rutin di TV, tetapi lebih jauh, Palestina adalah soal hak yang terampas.
Perampasan hak bangsa Palestina atas negerinya dilakukan oleh Zionisme secara politis dan diskursif dengan mendirikan negara Israel 1948 dan mengusir bangsa Palestina dari desa-desa mereka. Perampasan dan penjajahan atas Palestina ini bukan hanya soal kampanye Zionisme yang didukung Barat tapi lebih jauh soal praktik diskursif nalar orientalisme.
Orientalisme, kata Said (1978), adalah studi tentang dunia timur oleh dunia Barat untuk mengenal dan merepresentasikan dunia timur, yang dimulai sejak abad ke-18 dan ditandai dengan ekpedisi Napoleon 1798-1801.
Studi ini melibatkan banyak sarjana misalnya Sacy, Renan, Lace, Hurgronje dan banyak lainnya. Orientalisme dikatakan oleh Said sangat terkait dengan kolonialisme Inggris dan Prancis di masa lalu serta terkait dengan imperialisme Amerika di Timur Tengah saat ini.
Akar studi ini adalah kajian filologi yang populer di sekitar abad ke-18 dan 19. Renan dalam L`avenir de la science menulis bahwa studi filologis tak hanya pelopor pikiran modern tetapi juga studi ilmiah, “the founders of modern mind are philologists, la philogie est la science exacte des choses de iesprit.”
Persepsi politis awal dari orientalisme adalah kenaifan bahwa dunia timur itu cabul, terbelakang, dhaif, inferior, tak mampu berpikir dan merepresentasikan diri. Kenyataan di Timur ini dianggap bertolak belakang dengan Barat yang rasional, superior dan bisa merepresentasikan Timur.
Kontruksi politis ini dibangun dari pergaulan sesaat dan terbatas para sarjana Inggris dan Prancis di Timur untuk kepentingan imperialisme dan kolonialisme kata Said (1978).
Ini serupa persis digambarkan Marco Kartodikromo dalam Student Hidjo (1919) perihal seorang opsir kolonial yang telah bertugas sepuluh tahun di Hindia dan salah sejak dari dalam pikirannya menggambarkan orang Djawa yang pantas dijajah dan dihina karena kotor, bodo, males, tidak beschaafd dan busuk.
Orientalisme di masa awal terkait secara luas dengan intelektualitas yang dianggap menandai superioritas Barat merepresentasikan masyarakat dan agama di Timur, misalnya terlihat dalam karya Dante Alighieri (1265–1335), Victor Hugo (1802-85), dan bahkan Marx (1818-83) pun bisa dipandang terlibat dalam romantika orientalisme modern terkait pembenaran tesis kolonialisme positif di negeri jajahan Inggris (Said, 1978).
Orientalisme adalah praktik perselingkuhan kekuasaan dan pengetahuan. Ia digunakan melegitimasi kolonialisme di dunia timur pada abad 19 dan 20.
Kata Said (1978), kontribusi nyata studi orientalisme adalah kesuksesan Eropa sejak abad 19 hingga akhir Perang dunia I yang diwakili Inggris dan Prancis menjajah 85 persen dunia ini atau lebih dari separuh muka bumi.
Perselingkuhan orientalisme tak hanya terbatas di awal masa modern tetapi juga terkait dengan abad ke -20 dan 21 ketika misalnya Zionisme merampas Palestina dan atau Amerika melakukan ekspansi ke Irak. Inilah argument Edward W. Said bahwa ada relasi saling terkait antara orientalisme, perampasan Palestina dan dunia Islam seperti termaktub dalam karyanya.
Mengapa Zionis merampas Palestina?
Para zionis mempercayai secara teks suci spiritual bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan bagi kaum Yahudi, yang telah berdiaspora di mana-mana.
Zionisme memilih membangun Israel dengan menghancurkan Arab Palestina dan perlahan-lahan menyingkirkan penduduk asli tanah Palestina yang dihuni beragam agama.
Kata Said, Zionisme tak bisa dipandang sebagai ideologi pembebasan Yahudi melainkan ideologi kolonialis dan imperialis.
Zionis ketika ingin merampas Palestina diwakili oleh Rotschild meminta dukungan kepada Inggris. Akhirnya lahirlah deklarasi Balfour dengan memorandum 18 Juli 1917 berbunyi “the principle that Palestine should be reconstituted as the national home for the jewish people.”
Pendiri Zionisme, Theodor Herzl 1895 menuliskan strategi menyingkirkan pribumi Palestina “we shall have to spirit the penniless population across the border by procuring employment for it in the transit countries, while denying it any employment in our own country. both the process of expropriation and the removal of the poor must be carried out discreetly and circumspectly (Said, 1979).
Apa yang dipersoalkan Edward W. Said adalah tak layak bangsa manapun menduduki dan menjajah bangsa dan tanah Palestina yang telah memiliki eksistensi secara historis.
Ini sejalan perintah semua agama untuk mempertahankan hak apa pun walau secuil. Palestina kata Said (1979) sejak dulu telah ada. Di bawah kekuasaan Arab Islam abad ke 7.
Pada abad ke sepuluh nama Filastin didapatkan dalam beberapa naskah. Lalu di tahun 1515, ia adalah provinsi yang berada di bawah dinasti Utsmaniyah. Dan kaum Yahudi secara massif baru berdatangan pada tahun 1882.
Pada saat Zionis merampas Palestina, di sana telah berdiam kaum Kristen dan Islam Arab. Terdapat ratusan desa dengan penduduk yang rajin bertani. Karena pendirian Negara Israel 1948 secara paksa, ratusan desa-desa itu hilang dan ribuan orang-orang Palestina mengungsi, termasuk Edward W. Said
Mengapa peristiwa ini kemudian dilupakan dan diabaikan secara kolektif oleh komunitas internasional? Jawabannya adalah soal representasi dan interpretasi hegemonic Barat hari ini yang dominan mewarnai kehidupan social, media dan intelektual kita.
Kata Said (1981), Barat melalui media menampilkan wajah Islam yang identik dengan minyak, kekerasan dan terorisme terutama sejak tahun 1980-an hingga saat ini. Sedang Barat menguatkan imejnya identik dengan demokrasi, kemodernan dan kemajuan.
Media menampilkan realitas fundamentalisme politik yang terjadi seperti peristiwa pemboman dan penyandraan di Timur Tengah tetapi melepaskan fakta yang tak terlihat yaitu respon Islam atas kezaliman kolonialisme Barat sejak abad ke 19 hingga detik ini.
Melalui media dan lembaga riset, zionisme dan Barat mencoba menghapus ingatan dunia internasional tentang Palestina yang tertindas dan malah menggantinya dengan bahaya fundamentalisme Islam.
Mari kita lebih jernih. Ketika Imam Khomeini, Sukarno, Edward W. Said, Airlangga Pribadi menyatakan membela Palestina,
sesungguhnya mereka ingin mengalami langsung penderitaan bangsa Palestina yang mati terbunuh dengan mudah, menderita dan tertindas di abad modern ini.
Mereka ingin menunjukkan tentang asal-usul persoalan yaitu perampasan hak orang-orang Palestina dan mengajak untuk bersolidaritas atas nama keadilan.
Ini soal hak yang harus dibela dan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Hamid Dabashi, ahli sastra Persia di Columbia University, pernah melukiskan kepiluannya ketika Israel membom Gaza beberapa tahun lalu.
Ia dengan sedih menulis “ujung dari dukungan Amerika kepada Israel adalah bom yang memilukan” lalu memposting gambar anak-anak keluarga aktifis intifadah DR. Mona El-Farra yang menjadi korban bom di facebooknya.
Haidar Eid, seorang akademisi di Palestina, merekam dalam diarinya bagaimana Israel membunuh warga Palestina “8pm Saturday, July 19 More than 100 Palestinians killed in Gaza in 48 hours! Our population is only 1.8 million.
This is a massacre! They are insane. This is ethnic cleansing. World, wake…they love our land but they hate us”.
Nafez Abdullah Nazzal dalam Jurnal Palestina menulis, “perampasan zionist Yahudi pada 1948 ini punya cerita tragis di 6 desa di wilayah Western Galilee Al-Sumeiriya,
Al-Bassa, Al-Zib, Al-Ghabisiya, Kabi, Al-Birwa di mana penduduk di desa itu harus berhadapan dengan senjata-senjata modern tanpa perikemanusiaan.”
Di desa Al-Gahbisiya seorang korban bernama Hussein Shehada mengingat kesedihannya, “saya kembali membawa sepotong selimut, bantal dan makanan untuk keluargaku.
Saya tinggalkan desa ini di bawah pengejaran tentara Israel tanpa membawa apa apa.”
Walhasil, saya berikan solusi penyelesaian konflik ini di atas ring tinju (sigajang laleng lipa hehe) antara pemimpin Israel versus Palestina.
Silakan bergulat dengan strategi politik dan doktrin agama kalian tanpa senjata. Senjata hanya menumpahkan darah anak-anak, mengorbankan rakyat sipil dan merusak kemanusiaan dan keadilan universal yang kokoh.