Historiografi Muhammad Abduh
Riwayat Hidup Muhamad Abduh dan Pendidikannya Muhammad Abduh merupakan seorang teolog, pemikir, pembaharu, dan modernis muslim. Beliau memiliki nama lengkap, Muhammad „Abduh Ibnu Hasan Khairullah.
Sebagian besar penelusuran para pengamat dan peneliti, terkhusus yang meneliti seputar Muhammad „Abduh menyatakan beliau lahir pada tahun 1849 M bertepatan dengan 1266 H, ada juga yang berpendapat beliau lahir antara tahun 1842 dan 1848.
Beliau lahir di Mahallat al-Nasr Daerah Sibrakhait Provinsi al-Bukhairoh Mesir. Ayahnya bernama Hasan Khairullah merupakan seorang keturunan Turki, dan Ibunya bernama Junainah berasal dari keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada suku Arab dimana Amirul Mukminin sekaligus sahabat rasul, Umar Bin Khattab berasal.
Pada masa kelahirannya, Mesir mengalami kekacauan, karena masa itu Mesir dikuasai oleh penguasa dzalim, yang mengambil pajak dari penduduk dengan jumlah besar.
Pada akhirnya banyak dari penduduk berpindah tempat, agar dapat menghindar beban tanggungan berat membayar pajak, termasuk keluarga Muhammad Abduh. Setahun lebih tak menentu, berpindah tempat dari satu daerah ke daerah yang lain, sampai akhirnya di suatu desa bernama Mahallat al-Nasr, mereka dapat membeli sebidang tanah dari hasil jerih payah bekerja.
Mereka kemudian menetap cukup lama di daerah tersebut. Keluarga Muhammad „Abduh terbilang keluarga yang religius. Ayahnya adalah seorang religius yang memberikan pendidikan pertama kepada Muhammad „Abduh. Diajarkan kepadanya membaca dan menulis.
Tidak sampai disitu, agar Muhammad „Abduh lebih fokus dan bersemangat dalam proses pendidikannya, beliau kemudian dikirim oleh ayahnya menuntut ilmu ke suatu daerah di luar kampung halamannya untuk menghafal alQur’an. Muhammad Abduh terbilang anak yang cerdas, hal itu dibuktikan hanya dalam tempo kurang lebih dari tiga tahun belajar al-Qur‟an, beliau sudah mampu menghafalnya.
Setelah menghafal al-Qur‟an, Muhammad Abduh kemudian melanjutkan pendidikannya dengan lebih memperdalam al-Qur‟an. Beliau mempelajari ilmu al-Qur‟an, ilmu agama dan bahasa arab kepada seorang guru agama bernama Syekh Ahmad di Masjid Thanta pada tahun 1862. Dari sini beliau banyak mengenal dan mengambil pelajaran dengan baik. 3 Beliau banyak menguasai berbagai macam segi ilmu.
Namun dalam prosesnya beliau menemukan kekeliruan dalam metode pengajaran. Beliau mengkritik metode pengajaran gurunya yang dianggap statis, kurang menarik dan monoton. Sampai kemudian beliau berpindah belajar kepada guru lain. Beliau kemudian berpindah belajar di Masjid Ahmadi. Serupa dengan proses belajar mengajar sebelumnya, beliau kembali mendapati metode pengajaran yang statis, tidak efektif dan kurang memuaskan, karena kali ini metode pengajaran yang ditetapkan sekolah tersebut, terlalu mementingkan hafalan tanpa pengertian.
Beliau kemudian memutuskan kembali ke kampung halamannya di Mahallat Nashr sampai waktu cukup lama, sambil membantu ayahnya berladang. Sampai kemudian beliau menikah di usia yang cukup belia, 16 tahun. Setelah menikah, beliau masih tetap melanjutkan jenjang pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Beliau didorong oleh orangtuanya untuk kembali menuntut ilmu.
Muhammad „Abduh menemui pamannya, Syekh Darwisy Khadr, yang merupakan seorang penganut tarekat alSyażiliyah. Dari pamannya-lah, beliau mendapatkan banyak nasihat dan diyakinkan untuk kembali menuntut ilmu. Muhammad „Abduh sudah membulatkan tekadnya setelah memperoleh banyak nasihat dari pamannya, dan meyakinkan dirinya untuk melanjutkan jenjang pendidikannya.
Pada Februari 1866, setelah beliau menyelesaikan pendidikannya di Thantha, beliau kemudian meneruskan jenjang pendidikannya selanjutnya ke Universitas al-Azhar (Adams, 2010 : 24). Di Universitas al-Azhar justru beliau kembali mendapati metode pengajaran yang kurang memuaskan dan statis. Menariknya, dari sekian banyak mahasiswa yang belajar di Universitas al-Azhar, mereka seakan menerima begitu saja metode dan sistem pengajaran dari universitas al-Azhar tanpa mengkritisi.
Muhammad „Abduh-lah yang melontarkan kritik terhadap metode dan sistem pendidikan Universitas al-Azhar. Beliau menganggap muatan belajar mengajar di Universitas al-Azhar hanya mengandalkan pendapat-pendapat ulama terdahulu saja tanpa ada usaha mencari, menelusuri, meneliti, membandingkan dengan paradigma, ide, dan gagasan keilmuan yang lain.
Maka, beliau pun mencari guru dari luar al-Azhar. Beliau bernama Syekh Hasan At-Tawil. Dari guru inilah banyak belajar ilmu-ilmu non-agama, yang tidak didapatkan di al-Azhar. Beliau belajar filsafat, matematika, dan logika. Syekh Hasan At-Tawil adalah salah satu pengajar favorit dan dikagumi oleh Muhammad „Abduh, karena mengajarkan kitab-kita filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lainnya.
Padahal kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di Universitas al-Azhar. Selain Syekh Hasan al-Tawil, ada juga yang Muhammad „Abduh kagumi, yaitu Muhammad al-Basyuni, seorang pemerhati sastra dan bahasa, yang tidak lazim diajarkan di Universitas al-Azhar pada saat itu . Cukup lama belajar di Universitas al-Azhar.
Pada tahun 1869 M, datanglah seorang ulama bernama Syekh Jamal al-Addin al-Afghani, yang pada waktu itu singgah di Mesir untuk menuju Istambul. Dari sinilah untuk pertama kalinya Muhammad „Abduh berjumpa dengan Syekh Jamal alAddin al-Afghani.
Muhammad Abduh kemudian menjadi murid setia dari Syekh Jamal al-Addin al-Afghani. Beliau sangat tertarik dengan basis keilmuan dan pola pikirnya yang maju. Karena itu beliau terus-menerus membuka cakrawala berpikir, dengan bertukar pikiran bersama Syekh Jamal al-Addin al-Afghani membahas seputar berbagai hal.
Apalagi, dalam setiap kuliah yang diisi Syekh Jamal al-Addin al-Afghani, senantiasa dihembuskan angin segar pembaharuan dan spirit berbakti kepada umat, merubah pola pikir fanatisme buta menjadi berkemajuan dan senantiasa mengingatkan diri untuk berjihad di jalan Allah. Syekh Jamal al-Addin al-Afghani memang selalu getol dan giat memberikan dorongan kepada setiap muridnya untuk tidak gentar dengan intervensi Barat dan menyatukan umat islam.
Syekh Jamal al-Addin alAfghani menyadari, mesti menularkan pemahaman dan ajarannya yang didapatkan ketika beliau memahami ajaran-ajaran asing (Barat) dan mempelajari faktor-faktor pendukung kemajuan dunia Barat. Dari situ kemudian diambil tesis-tesis yang sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran islam, dan akhirnya dijadikan sintesis pembaharuan guna menjawab persoalan umat.
Muhammad Abduh merasakan kemajuan berpikir dan pencerahan saat berkesempatan berguru kepada Syekh Jamal al-Addin al-Afghani. Muhammad Abduh bahkan mampu mewarisi ide gagasan gurunya tersebut dengan baik. Dari gurunya tersebut, beliau banyak mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan baru dalam ilmu kalam, filsafat dan ilmu pasti
Muhammad Abduh tentunya sangat menentang dan menjauhi sikap taklid, yang terjadi pada umat islam saat itu. Karena taklid mempunya ciri khas pengajaran yang terlalu mengembalikan semua jawaban persoalan saat itu kepada pendapat-pendapat ulama terdahulu, padahal semakin zaman berjalan maju, kontekstualisasi diperlukan untuk menjawab persoalan dan permasalahan yang kian kompleks.
Akan lebih baik jika penalaran ijtihadi juga dilibatkan dalam pemikiran, disamping tetap mengkompromikan pendapat-pendapat ulama terdahulu. Muhammad Abduh adalah sosok yang haus akan ilmu. Tidak heran beliau merasa cepat bosan seperti ketika menemukan banyak keganjilan dalam sistem dan metode pengajaran dimanapun tempat beliau belajar.
Beliau tidak akan merasa puas manakala apa yang menjadi kegelisahannya selama ini belum terpecahkan solusinya. 7 Maka beliau merasa beruntung dan berbahagia, dapat bertemu dengan Syekh Jamal al-Addin al-Afghani. Darinya beliau banyak diperkenalkan dengan progresifitas berpikir, banyak karya-karya penulis Barat, serta banyak terlibat dalam diskusi seputar sosial politik yang tengah dihadapi oleh Mesir maupun umat islam di seantero dunia.
Perjumpaan dengan Syekh Jamal al-Addin al-Afghani sebetulnya sangatlah membuat kesan tersendiri bagi Muhammad „Abduh. Tapi Muhammad „Abduh merasa harus menjauhkan diri dari revolusionisme yang diusung Syekh Jamal al-Addin al-Afghani, karena beliau mempunyai pemikiran sendiri terkait pendekatan baik sosial, politik, pendidikan, dan budaya yang lebih evolusioner dan damai.
Dari sini, beliau banyak menyampaikan buah pemikirannya tentang pembaharuan dan modernitas di media massa Mesir. Tulisannya banyak dimuat di surat kabar seperti al-Ahram. Respon yang dituainya pun sebagian besar tidak menyetujui ide gagasan di dalam tulisan tersebut. Tapi beliau tidak gentar sama sekali menuai banyak kritik dan kontra dari siapapun.
Baginya kebenaran dan realitas harus disampaikan, keterbukaan berpikir serta berpendapat harus direalisasikan di Mesir, karena menyampaikan kebenaran tidak bisa ditawar lagi, dan keterbukaan berpikir serta berpendapat adalah ruang yang dapat menyatukan pemikiran agar ditemukan kebenaran sesungguhnya.
Beliau juga terbuka terhadap semua pandangan, ide, gagasan dan opini yang berbeda tanpa perlu khawatir dan takut terhadap siapapun dan kekuataan apapun, kecuali Tuhannya (Allah). Karena sikapnya ini, ditambah kemampuan lihainya dalam berargument dan berdialektika secara ilmiah, beliau mendapatkan pembelaan dari Syekh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi yang saat itu menduduki jabatan “Syaikh al-Azhar”.
Muhammad „Abduh kemudian menyelesaikan tugas akhirnya dan lulus pada tahun 1877 M, dan mendapatkan gelar alim dari Universitas al-Azhar pada usia 28 tahun. Setelah lulus dari al-Azhar, beliau kembali ke kampung halamannya untuk mengamalkan ilmunya. Beliau mengajarkan kitab Tahdzib al-Akhlaq karangan Ibnu Miskawaih, sejarah peradaban kerajaan-kerajaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan oleh al-Tahtawi, dan mukaddimah Ibnu Khaldun.
Setahun kemudian, beliau diangkat menjadi dosen di Universitas Dārul Ulum atas inisiatif Perdana Menteri Mesir pada waktu itu, Riadl Pasya , di samping beliau juga menjadi dosen di Universitas al-Azhar untuk pertama kalinya. Adapun mata kuliah yang diampu pada waktu itu ialah ilmu 9 manthiq (logika) dan ilmu kalam (teologi).
Beliau turut serta mengajar di Madrasah al-Idarah wa al-Alsun, yakni sekolah administrasi dan bahasa (Shihab, 2006 : 14). Setelah kurang lebih dua tahun, mengemban tugasnya di almaternya Universitas al-Azhar, dan sekolah lain, pemerintahan Mesir dihadapkan pada kekuasaan baru yang fanatik dan reaksioner di bawah pimpinan Taufiq Pasya. Pemerintahan ini segera memecar Muhammad Abduh dari jabatannya.
Di tahun yang sama, 1879 M, Syekh Jamal al-Addin al-Afghani juga diusir oleh pemerintahan Mesir atas pengaruh kolonialis Inggris di Mesir. Syekh Jamal al-Addin al-Afghani dituduh sebagai dalang di balik gerakan penentang pemerintahan pada waktu itu. Sampai akhirnya Muhammad „Abduh dan Syekh Jamal al-Addin al-Afghani diasingkan keluar kota Kairo.
Pada tahun 1880 M, Muhammad „Abduh diperbolehkan kembali ke Kairo. Beliau diserahi tugas menjadi pemimpin redaksi surat kabar resmi pemerintah Mesir, yaitu al-Waqa‟i al-Misriyyah. Dari sini beliau mulai banyak menyadarkan dan membangkitkan rasa nasionalisme bangsa Mesir, karena dari surat kabar ini, beliau dapat dengan mudah menyiarkan beritaberita resmi seputar nasional.
Para tentara Mesir berusaha bangkit dan menghancurkan intrik-intrik yang selama itu menjadi penghalang nasionalisme Mesir. Sampai akhirnya timbullah gerakan nasionalis di bawah pimpinan Urabi Pasya. Gerakan ini kemudian dapat menguasai 10 pemerintahan Mesir. Tapi sayangnya gerakan nasionalis ini tidak berlangsung lama menguasai pemerintahan.
Gerakan nasionalis ini kemudian dijatuhkan oleh kolonialis Inggris lewat pertempuran di Alexandria. Mesir pun jatuh ke tangan kolonialis Inggris. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Revolusi Urabi Pasya. Muhammad „Abduh terkena imbasnya, lantaran beliau dituduh terlibat dalam gerakan revolusi nasionalis tersebut.
Muhammad Abduh pun ditangkap beserta pemimpin-pemimpin lain yang dianggap terang-terangan melakukan pemberontakan. Beliau kemudian diasingkan selama tiga tahun di Beirut, Syiria, tempat yang dipilihnya sebagai tempat pengasingan. Di Beirut, Muhammad „Abduh mengalami banyak penderitaan.
Masa kelam banyak beliau lewati di Beirut. Sampai kemudian pada tahun 1884 M, Muhammad „Abduh menerima kiriman surat dari gurunya, Syekh Jamal al-Addin al-Afghani. Surat itu berisi ajakan Syekh Jamal al-Addin alAfghani untuk datang ke Paris, karena pada saat itu Syekh Jamal al-Addin al-Afghani sedang berada di Paris.
Dari sinilah beliau memulai kembali aktifitasnya sebagai jurnalis dan organisatoris. Beliau mendirikan organisasi dan menerbitkan surat kabar. Beliau menama keduanya dengan nama “al-Urwat al-Wutsqa”, yang memiliki arti mata rantai terkuat. Organisasi in bertujuan untuk mempersatukan umat islam, sekaligus melepaskan umat Islam dari berbagai macam intrik adu domba yang selama ini memecah belah umat islam.
Organisasi ini juga bertujuan untuk melawan kolonialis Barat, khususnya Inggris. Adapun surat kabar 11 diterbitkan untuk menginformasikan dan memberikan peringatan kepada masyarakat tentang bahayanya intervensi kolonialis Inggris, yang selama itu telah mengkhianati dan menghinakan bangsa Mesir, serta menjarah sumber daya dan penghidupan Mesir.
Dalam waktu yang cukup singkat, gerakan ini berpengaruh terhadap kebangkitan umat islam. Kolonialis dan imperialis semakin merasa cemas dan kalang kabut. Sehingga kolonialis Inggris melarang surat kabar alUrwat al-Wutsqa terbit dan beredar di Mesir (Asmuni, 1998 : 80). 12 Pada tahun 1885 M, Muhammad Abduh pergi ke Beirut dan tinggal di sana sebagai pengasingan kembali. Beliau mengajar di sekolah islam Sulthaniyah.
Rumahnya dijadikan sebagai tempat belajar oleh semua elemen masyarakat, baik dari kalangan islam, kristen dan lainnya. Di samping itu, beliau kembali mendirikan sebuah organisasi, dimana organisasi ini bertujuan untuk menyatukan semua elemen masyarakat, agar terjalin suatu kerukunan dan tenggang rasa antar sesama manusia tanpa memandang latar belakang.
Dari organisasi ini, Muhammad Abduh dan rekan-rekannya terus beraktifitas secara objektif, sehingga dilihat oleh penguasa Turki di Beirut pada saat itu sebagai langkah aktifitas yang positif. Penguasa tersebut akhirnya mengusulkan kepada pemerintah Mesir untuk mencabut hukuman pengasingan yang dijalani Muhammad Abduh.
Pada tahun 1888 M, Muhammad Abduh kembali ke Mesir. Akan tetapi pemerintah Mesir tidak mengizinkan dirinya kembali mengajar, karena pengaruhnya, apalagi terhadap kalangan muda, masih dianggap membahayakan pemerintahan Mesir pada waktu itu. Jadilah, Muhammad „Abduh sebagai hakim di pengadilan daerah Banha. Sampai seterusnya, beliau terus diamanahi jabatan hakim berpindah dari daerah satu ke daerah yang lain.
Tahun 1894 M, Muhammad Abduh dinobatkan sebagai anggota majelis a‟la dari Universitas al-Azhar. Saat menjabat anggota majlis a‟la ini, beliau banyak merubah dan memperbaiki sistem pendidikan Universitas al-Azhar. 5 tahun kemudian di tahun 1899 M, Muhammad „Abduh diangkat menjadi 13 Mufti Besar Mesir.
Dari sini beliau banyak mengusulkan perbaikan terhadap sistem pengadilan agama Mesir, dan terus konsisten memperbaharui sistem pendidikan di Universitas al-Azhar melalui gebrakan dalam sistem pendidikan itu sendiri, pengajaran, kesejahteraan guru dan administrasi. Aktivitasnya di dunia akademis terus berjalan sampai akhir hayatnya di tahun 1905 M.
Karya-karya Muhammad Abduh
Muhammad Abduh merupakan salah seorang pemikir yang memiliki Karya diantaranya adalalh Beliau pertama kali menghasilkan karya ilmiah terbaiknya, yakni:
- Risālah al-„Aridat, dihasilkannya pada tahun antara 1873 dan 1874 M
- Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Dawwani lil Aqa‟id al-Adhudhiyah, dihasilkannya berselang dua tahun kemudian setelah Risalah al-„Aridat, yakni antara tahun 1875 sampai 1876 M
- Syarah Nahjul Balaghah, berisi komentar terkait pidato dan upacara Imam Ali bin Abi Thalib, dihasilkan pada tahun 1885 M
- Tarjamah al-Raddu „Ala al-Dahriyyin, berisi terjemahan kitab al-Raddu „Ala al-Dahriyyin karangan Syekh Jamal al-Addin al-Afghani tentang materialisme historis, diterjemahkan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab, dihasilkan pada tahun 1886 M
- Tafsir al-Manar, berisi sastra budaya dan kemasyarakatan
- Syarah Maqamat Badi‟ al-Zaman al-Hamazani, berisi tentang sastra dan bahasa Arab, dihasilkan pada tahun 1885 M
- Hasyiyah „ala Dawani li al-„Aqaid al-„Adudiyah, berisi tentang tasawuf dan mistisisme, dihasilkan pada tahun 1876 M
- Syarah Kitab al-Basyir al-Nasriyyah fi „ilmi al-Mantiq, dihasilkan pada tahun 1898
- Taqrir fi Islah al-Mahakim al-Syari‟ah, dihasilkan pada tahun 1900
- Al-Islam wa al-Nasrani ma‟a al-Ilmi wa al-Madaniyyah, dihasilkan pada tahun 1902|
- Tafsir Juz „Amma wa Surah al-„Asr (Shihab, 2006 : 11-15)
Sumber: diolah dari berbagai sumber