Oleh: Virtuous Setyaka
(Dosen Hubungan Internasional Unand)
Pandemi Covid 19 telah menjadi fenomena global yang melanda seluruh ruang hidup masyarakat dunia, diakui atau disangkal, diterima atau ditolak, ditindaklanjuti atau dibiarkan, faktanya tatanan dunia akan bergeser dan beranjak dari satu posisi ke posisi lain yang berbeda dari sebelumnya.
Situasi dan kondisi dunia sejak pandemi mulai “di-ada-kan” atau “di-hadir-kan” oleh para elit dalam struktur sosial pada tatanan dunia, terbukti sudah mengubah perilaku setiap dan semua orang dengan kebiasaan baru yang mungkin tidak ada sebelumnya dalam kehidupan keseharian mereka.
Perubahan perilaku itu dilakukan awalnya dengan paksaan atau himbauan sebagai istilah yang lebih halusnya. Penggunaan instrumen kekuasaan selalu ada dalam perubahan sosial di masyarakat secara global. Kekuasaan sebagai otoritas atas wilayah politik, kekuasaan atas otoritas kebudayaan, dan tentu saja kekuasaan atas modal atau kapital yang terbukti lebih sering efektif digunakan untuk mengubah tatanan dunia secara global.
Masalahnya adalah selalu elit politik, elit ekonomi, dan elit budaya yang senantiasa dihadirkan dalam ruang publik untuk merespon pandemi dan krisis; ketimbang non-elit atau orang-orang bawah dalam struktur sosial secara global.
Mungkin dengan mudah dapat dipahami karena memang mereka lah yang “menghadirkan” berbagai krisis tersebut. Namun dalam ruang lingkup relasi kuasa yang mungkin belum berubah, apakah tidak mungkin menghadirkan non-elit atau orang-orang bawah untuk bersuara dan dihadirkan dalam ruang publik yang lebih luas?
Biasanya selalu muncul pertanyaan tentang bagaimana non-elit atau orang-orang bawah dalam struktur sosial akan mempunyai daya atau kuasa dalam melakukan itu semua?.
Tentu saja itu menjadi tanggung jawab para akademisi khususnya atau para intelektual organik non-hegemon untuk bekerja. Lalu bagaimana mereka memulai bekerja untuk memikul tanggung jawab tersebut? Mereka yang mempunyai pengalaman dalam dan memiliki pengetahuan tentang gerakan sosial biasanya akan lebih cepat paham dan mengerti untuk segera melangkah.
Bahkan ketika mereka tidak memiliki modal material ekonomi atau uang, karena modal utama dan pertama biasanya adalah ide-ide atau gagasan-gagasan progresif untuk mampu mengkonversi yang belum tampak sebagai kekuatan untuk menjadi kekuatan, dari realitas potensial menjadi realitas aktual.
Tentu saja, kedua unsur potensi itu harus dikelola, dilembagakan, atau diinstitusionalisasikan dalam kerja-kerja pengorganisasian atau pengorganisiran seluruh potensi untuk perubahan sosial. Nah, di sini biasanya tantangan terbesar itu menjadi hambatan.
Apakah kita tidak bosan melihat dan mendengar para elit terus berbicara sementara selalu ada pertanyaan bahwa apakah yang mereka rasakan dan butuhkan adalah juga yang dirasakan dan dibutuhkan orang-orang bawah dalam struktur sosial yang ada, atau yang biasa disebut akar rumput?
Kekuatan dan kekuasaan masyarakat akar rumput, biasanya memang diagregasikan dalam gerakan sosial, yang menghimpun daya mereka secara ekonomi, budaya, dan politik.
Apakah instrumen yang tepat untuk itu?