Oleh:Hasril Chaniago
(Tokoh Pers dan Wartawan Senior Sumatera Barat)
“Lembaga Riset Kedokteran Terkemuka di Dunia itu Dimakamkan”
Saya merasa sangat dekat dan mengenal Lembaga Eijkman ketika menulis Biografi Prof. Dr. Achmad Mochtar, akhir 2020 lalu.
Achmad Mochtar (namanya diabadikan di RSUD Bukittinggi) adalah orang Indomesia pertama yang menjadi Direktur Lembaga Riset kedokteran yang pernah dianggap salah satu yang terkemuka di dunia. Achmad Mochtar sendiri di kalangan ilmuwan disebut sebagai simbol kebangkitan ilmu pengetahuan Indonesia.
Selama menyusun buku Biografi Achmad Mochtar, saya bersama rekan Aswil Nazir dan Januarisdi Didi berkali-kali mewawancarai Prof. Dr. Sangkot Marzuki, salah satu ilmuwan terbaik Indonesia yang pernah 22 tahun memimpin Lembaga Eijkman (1992-2014).
Kami juga mengontak Prof. Dr. Amin Subandrio, Kepala Lembaga Eijkman terakhir yang bersedia menulis Epilog untuk menutup buku Biografi Achmad Mochtar tersebut.
Saya sempat bertanya kepada Prof. Sangkot Marzuki: “Seandainya pemerintah mengoptimalkan peran Lembaga Eijkman bersama PT Biofarma (holding BUMN Kesehatan), apakah Indonesia bisa menjadi negara pertama yang menghasilkan vaksin Covid 19?”
Tanpa ragu Prof. Sangkot – ilmuwan yang sangat dihargai dan dihormati di Australia – menjawab: “Sangat mungkin!”
Tapi kini lembaga yang pernah menerima Hadiah Nobel Kodekteran 1929 – berkat penemuan konsep Vitamin B1 oleh Christiaan Eijkman di lembaga itu – telah “dimakamkan” oleh pemerintah Indonesia.
Bahkan dikabarkan, lebih 100 peneliti dan staf yang pernah bekerja di LEMB Eijkman diberhentikan tanpa uang pesangon. Tragis dan ironis.
Di akhir zaman kolonial, Lembaga Eijkman menjadi tempat ilmuwan terkemuka Indonesia berkiprah. Sebutlah nama-nama Prof. Dr. Sardjito, Prof. Dr. Achmad Mochtar, dan Dr. R. Soesilo, di antara ilmuwan kedokteran Indonesia dengan reputasi dunia.
Di zaman Jepang, Lembaga Eijkman masih dimanfaatkan, sampai akhirnya Prof. Achmad Mochtar dikorbankan Jepang untuk menutupi kejahatan eksperimen vaksin maut Klender, sebagai kejahatan perang Jepang terbesar di Indonesia yang membunuh 900 orang romusha di Kamp Klender, Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka Lembaga Eijkman memang sempat terlantar karena kekurangan biaya. Dan benar-benar mati suri setelah 1966.
Tahun 1990 Menristek Habibie – pemimpin yang sadar bahwa kemajuan bangsa dapat diraih melalui ilmu pengatahuan – mengundang Prof. Dr. Sangkot Marzuki setelah menyaksikan sebuah pameran hasil riset kedokteran di Singapura.
“Apa yang harus kita lakukan agar Indonesia menjadi negara terkemuka di bidang ilmu pengetahuan dan riset kedokteran?” Begitu kira-kira pertanyaan Habibie.
“Hidupkan kembali Lembaga Eijkman,” jawab Prof. Sangkot.
“Memang itu yang saya maksud,” kata Habibie dengan mata berbinar.
Habibie pun mengangkat Prof. Sangkot menjadi Direktur Lembaga Eijkman sementara Habibie berjuang meraih dukungan Pak Harto untuk ambisi tersebut. Mulanya Pak Harto keberatan menyetujui anggaran besar untuk menghidupkan kembali Lembaga Eijkman dengan alasan Indonesia memerlukan biaya yang banyak untuk membangun jembatan dan sebagainya.
Tapi Habibie berhasil meyakinkan Pak Harto betapa pentingnya memuliki lembaga riset biologi medis dan kedokteran yang hebat. Akhirnya Pak Harto sendiri yang meresmikan lahirnya kembali Lembaga Eijkman tahun 1992.
Tentu tak perlu diuraikan apa yang dihasilkan Lembaga Eijkman setelah itu. Yang jelas, Infonesia kembali diperhitungkan dalam gelanggang riset kedokteran dunia. Sampai 2014, kata Prof. Sangkot, LEMB Eijkman masih dapat anggaran yang memadai dari pemerintah. Tapi setelah 2014 Prof. Sangkot tidak tahu lagi.
“Saya sudah lebih banyak tinggal di Australia,” kata Ketua AIPI dua periode (2008-2018) dan peraih Bintang Mahaputra Utama 2009 ini.
Prof. Sangkot begitu antusias membantu kami ketika menyusun buku Biografi Prof. Achmad Mochtar akhir tahun 2020. Bahkan pernah Prof. Sangkot membatalkan acara sebagai pembicara dalam seminar yang dibuka Presiden Jokowi karena telah berjanji menyelesaikan Kata Pengantar untuk buku Biografi Achmad Mochtar tersebut, kalau tak salah, 5 Desember 2020.
Kini setelah Lembaga Eijkman dibubarkan pemerintah, saya rasanya tak tega mau minta tanggapan Prof. Sangkot. Saya tidak tahu bagaimana perasaan beliau. Tentu saja sedih.
Sementara saya masih berpikir, mudah-mudahan Lembaga Eijkman hanya sekadar “mati suri” seperti 1966-1992 lalu. Mana tahu nanti ada lagi pemimpin yang punya visi jauh ke depan dan mengerti betapa pentingnya negara memiliki sebuah lembaga riset kedokteran dan biologi medis yang hebat.
Sehingga, ketika ada kejadian pandemi seperti saat ini, kita bisa menemukan vaksin dan obat sendiri tanpa tergantung kepada bangsa asing. Atau memang sudahlah. Kan masih ada cara lain memperoleh obat dan vaksin. Impor! Toh kita memang sudah biasa disebut sebagai bangsa pengimpor.