Oleh : Mutia Aini Ahmad
Dosen Prodi Psikologi Islam IAIN Batusangkar
Kekerasan Seksual atau yang sering disebut dengan KSA marak terjadi belakangan ini, bahkan sudah tercatat sebanyak 6.500 lebih kasus KSA pada tahun 2021. Pelaku kekerasan seksual biasanya dikategorikan menjadi dua yaitu anggota keluarga dan orang yang berada diluar keluarga.
Pada awal tahun 2022 juga sudah terdapat beberapa kasus kekerasan seksual pada anak, salah satunya yang terjadi di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Kekerasan seksual ini sudah dilakukan berulang kali semenjak korban berada di bangku TK hingga terakhir kali pada tahun 2021, ketika anak tersebut berumur 14 tahun. Dalam keterangannya korban pernah menyampaikan kejadian ini kepada ibunya, namun ibunya tidak memberikan tanggapan apapun kepada anaknya.
Kekerasan seksual adalah salah satu tindakan asusila yang memiliki dampak buruk terhadap korban, salah satu dampak terbesar adalah dampak psikologis. Kejadian-kejadian buruk yang menempatkan seseorang pada situasi beresiko menimbulkan adanya efek traumatis. Pengalaman traumatis menyerang berbagai aspek dari kepribadian apalagi hal tersebut juga berhubungan dengan harga diri.
Berdasarkan penelitian menyebutkan bahwa korban pemerkosaan kehilangan harga diri yang berawal dari persepsi negatif terhadap diri sendiri. Kekerasan seksual juga menyebabkan terjadinya perubahan secara emosional seperti depresi, mudah marah atau menjadi sangat sensitif. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan terjadinya beberapa perilaku seperti mengisolasi diri, pendiam, murung dan bahkan memiliki tendensi untuk menyakiti diri sendiri.
Korban trauma yang mengembangkan post-traumatic stress disorder seringkali memiliki tingkat yang lebih tinggi merangsang hormon lain (katekolamin) di bawah kondisi normal meskipun ancaman trauma tidak hadir. Hormon yang sama ini meningkat ketika mereka diingatkan pada trauma yang pernah dialami.
Jika seseorang selalu terpaparkan oleh peristiwa traumatis maka akan menimbulkan terjadinya respon stress akut. Sebagai tanggapan terhadap peristiwa traumatik, individu mengembangkan gejala disosiatif. Orang yang mengalami masalah stress akut akan merasa kesulitan untuk menikmati kegiatan-kegiatan yang menurut orang normal menyenangkan. Mereka juga sering kali terlihat bingung dan bersalah karena tidak bisa melakukan tugas-tugas sehari-hari yang biasa mereka lakukan.
Keadaan seperti ini harus segera ditangani sebelum terjadi perubahan atau efek yang lebih jauh pada korban. Para korban yang mengalami kekerasan seksual yang tidak bisa ditangani dengan baik maka akan menunjukkan beberapa permasalahan baik dalam adaptasi dengan lingkungan sosial dan berbagai permasalahan psikologis lainnya ketika mereka dewasa.
Emosi-emosi yang terperangkap dalam trauma akan terus mengarahkan korban pada hambatan-hambatan dalam pengembangan diri. Penanganan berupa pendampingan psikologis dari para ahli merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam menangani permasalahan tersebut.
Rangkulan dari lingkungan sosial dan juga keluarga dekat sangat diperlukan untuk membantu proses pemulihan. Stigma negatif dan penolakan yang diberikan oleh orang lain kepada korban justru akan lebih memperburuk keadaan. Apalagi mereka adalah pribadi yang masih sangat rentan terhadap paparan hal-hal buruk yang akan mengundang perilaku negatif.