Oleh : Dr. Akhyar Hanif, M.Ag
Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Batusangkar
Dua pekan belakangan, bahkan hingga kini, kita menyaksikan gencarnya diskusi di media sosial tentang “ceramah” ustazd di gereja. Setidaknya ada dua pandangan dominan dalam diskusi tersebut. Bagi kubu yang anti, mereka mengatakan; bahwa masuk gereja saja sudah terlarang apalagi “ceramah” di dalamnya.
Berbeda dengan mereka yang berpandangan moderat, toleran, tidak terlalu narrow minded mengatakan bahwa yang dilarang itu ikut ritual ibadahnya bukan masuk rumah ibadahnya atau gerejanya. Kalau hanya sekedar masuk dan berpidato di dalamnya tidak ada larangan yang sharih. Artinya tidak ada teks ayat atau hadist yang secara eksplisit melarang itu.
Salah satu argument bagi mereka yang anti ini adalah bahwa nabi Muhammad Saw. tidak mau masuk ke dalam suatu rumah yang di dalam terdapat patung. Nah, Gereja, karena di dalamnya ada patung maka berdasarkan itu mereka kemudian menyimpulkan bahwa Nabi melarang kita untuk masuk gereja.
Ok baik, itu baru satu kesimpulan hukum hasil “ijtihad” ulama tapi bukan satu-satunya. Memang kalau ditela’ah lebih jauh, sungguh berbeda-beda pendapat ulama tentang bagaiamana hukum orang masuk ke dalam gereja ini. Mulai dari mereka yang memperbolehkan, memakruhkan bahkan ada yang sampai mengharamkan dan mengkafirkan orang yang masuk ke dalam rumah ibadah agama lain, dalam hal ini tentu gereja.
Bagi saya, secara pribadi, saya lebih cenderung kepada yang yang berfaham moderat dan toleran ini. Ada beberapa alasan yang ingin saya bagi di sini; pertama, tidak ada larangan ekplisit dari ayat atau hadist nabi Muhammad Saw. Yang melarang kita untuk masuk ke dalam tempat ibadah agama lain.
Sejauh pengetahuan saya, Umar bin Khattab itu pernah berkunjung dan masuk ke dalam sebuah gereja di Romawi. Kemudian Ketika waktu shalat datang dia pun memilih shalat di pelataran pinggir atau teras gereja tersebut.
Itu dilakukan semata-mata untuk menghindari agar jangan terjadi “konflik-teologis keagamaan” saja di kalangan ummat Islam kelak, maka dia pilih shalat di pelataran gereja, bukan di dalamnya. Anda bisa banyangkan, Umar saja masuk dan shalat di gereja. Kurang shaleh apa belia, kurang dekat bagaimana dia dengan Rasulullah Saw.
Kedua, bukankah dengan diizinkannya kita masuk ke sana adalah kesempatan emas bagi “kita” apalagi di situ kita dipersilahkan “berda’wah” untuk menjelaskan agama ini dengan baik. Coba kalau kita dibalik, maukah kita mengizinkan “mereka” masuk dan berdakwah pula di dalam masjid? Tentu saja dakwah di sini tidak difahami dengan ceramah semata tapi juga bisa dakwah bi al-hal atau mujadalah hasanah dan seterusnya.
Ketiga, konsep mengenai toleransi dan mederasi beragama ini penting diletakkan pada tingkat profesionalitas dan proporsionalitas yang tinggi sehingga tidak terkesan semu dan formalitas belaka, akan tetapi mesti mengejawantah di tengah-tengah masyarakat Nusantara umumnya dan bumi Minangkabau khususnya. Meski sesungguhnya toleransi itu sudah membumi di negeri ini mulai dari dulu hingga kini dan insyaallah berlanjut di masa-masa yang akan datang…. wallahu a’lam.