Minangkabau terkenal dengan lumbunganya para kaum intelektual sesuai dengan kontek zamannya. salah satu tokoh yang sangat intents memperjuangan hak azasi manusia diminang kabau adalah Rohona kudus. Rohana dilahirkan di Koto Gadang Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1884. Ayahnya bernama Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, dan ibunya bernama Kiam.
Ayah Rohana bekerja sebagai jaksa di Alahan Panjang. Sebagai orangtua, Rasjad dan Kiam tidak seperti para orangtua kebanyakan. Mereka tidak keberatan jika anak-anak perempuannya belajar baca dan tulis. Rasjad sendiri senang mengajari Rohana untuk membaca dan menulis, ditambah dengan banyaknya koleksi buku serta majalah yang menumpuk di rumahnya yang sering dijamah oleh anak-anaknya. Sehingga Rohana dan adik-adiknya tidak asing dengan dunia baca tulis, semakin diajari oleh ayahnya, semakin bertambah pula rasa keingintahuannya. (Tamar Djaja: 1980, h. 26.)
Di Alahan Panjang, Rohana tinggal bertetangga dengan seorang jaksa yang bernama Lebi Rajo nan Soetan dan istrinya Adiesa. Setiap hari Rohana menghabiskan waktunya bermain di rumah Adiesa, sehingga diangkatlah Rohana menjadi anak angkat Jaksa Lebi Rajo dan Adiesa.
Menjadi anak seorang Jaksa, terlebih orang tua angkatnya pun seorang jaksa membuat Rohana mendapat pelajaran lebih banyak lagi, kemampuan baca tulis yang telah ia pelajari dari ayahnya, kembali oleh ibu angkatnya sehingga semakin fasih. Selain belajar baca tulis, Rohana juga diajarinya memasak, dan sulam menyulam, keahlian khusus yang harus dimiliki kaum perempuan saat itu.
Rohana memiliki spirit yang sangat tinggi untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan pada jenjang pendidikan formal (sekolah). Namun sayang, adat matrelineal membuat posisi kurang menguntungkan bagi kaum perempuan pada saat itu untuk menuntut ilmu karna pendidikan bagi anak perempuan merupakan sesuatu yang tabu. Kondisi ini yang memunculkan pertanyaan bagi Rohana sendiri, mengapa kaum perempuan Minangkabau dilarang untuk mengenyam pendidikan?.
Berangkat dari dari kegelisahan tersebut, muncul keinginan Rohana untuk mengubah tradisi yang tengah berlangsung. Apalagi bagi masyarakat Minang yang terkenal cukup religius. Rohana menemukan kata Iqra’ di dalam Al-Quran yang berarti “bacalah” Artinya kaum perempuan tidak dilarang untuk dapat membaca menulis atau untuk dapat berpendidikan.
Bahkan menurut Rohana agama Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, sehingga tidak ada halangan bagi setiap orang untuk dapat bersekolah tanpa terkecuali.
Berangkat dari persolanan muncul keinginan Rohana untuk mengubah nasib kaum perempuan.
Pada tahun 1901, dalam usia 17 tahun Rohana mendirirkan sekolah di rumahnya yang dibantu oleh neneknya. Sekolah ini mengajarkan baca tulis, pelajaran agama, tata cara beretika, bahkan sulam menyulam. Murid Rohana berasal dari berbagai kalangan usia, anak- anak, remaja bahkan orang yang telah berumah tangga dan memiliki anak. (Fitryanti. 2001, h. 33-35).
Keterlibatan Rohana dalam melakukan pendidikan kaum perempuan tidak lain dipicu oleh faktor nasib kaum perempuan di Minang kabau pada masa sebelum pemerintah Belanda hingga awal abad ke-19, yang tidak sebaik posisi kaum laki-laki. Perjuangan rohana terhadap pendidikan kaum perempuan minagkabau, memang tidak bisa diragukan lagi, bahkan Keputusan Rohana untuk keluar dari adat istiadat Minangkabau mencerminkan keberanian rohana dalam memperjuangkan kaum perempuan.
Setelah menjalankan sekolahnya, pelan-pelan kesadaran para perempuan Minang mengenai pentingnya pendidikan mulai terbuka. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya murid yang mendaftar dan mengikuti sekolah Rohana. Pentingnya membaca dan menulis mulai disadari oleh perempuan Minang.
Tidak puas pada mendirikan sekolah, Rohana ingin suaranya dapat didengar oleh perempuan di luar Minangkabau. Hingga pada tahun 1912 di usia 28 tahun, Rohana akhirnya menerbitkan surat kabar khusus perempuan yang bernama ―Soenting Melajoe‖. Hal ini dikarenakan Rohana melihat belum ada perempuan yang menekuni dunia persurat kabaran, (Ahmat Adam. 2003, h. 238)
Pada tahun 1919, Rohana mendapat tawaran dari ayahnya yang telah tinggal di Medan untuk mengajar kepandaian putri di Lubuk Pakam, tepatnya di sekolah Dharma Putra. Berselang setahun, Rohana pindah ke Medan dan mengajar disekolah Dharma yang merupakan sekolah pusat dari sekolah cabang di Lubuk Pakam.
Pada tahun 1950, Rohana kembali ke kampung halamnya di Koto gadang kabupaten agam. Suaminya tercinta Abdul Kudus yang mulai sakit-sakitan menjadi alasannya untuk balik kekampung halamnya. Setahun kemudian, Abdul Kudus wafat dan Rohana memilih untuk tinggal di Medan karena anak tunggalnya menetap di sana. Rohana tidak lagi mengajar ataupun menulis. Tapi beliau masih semangat untuk membaca. Selain membaca, Rohana juga mengisi waktunya dengan jahit-menjahit. (Ahmat Adam. 2003, h. 238)
Selain bergerak dalam bidang pendidikan Rohana juga berjuang melalui tulisan yang diterbitkannya. Dalam bidang pendidikan ada sekurangnya empat hal yang di gagas oleh Rohana . “Pertama, tentang pendidikan perempuan; kedua, pendidikan dalam rangka mengangkat budaya lokal; ketiga, pendidikan yang memerdekakan; keempat, pendidikan yang memberdayakan.
Sekurang-kurangnya inilah empat gagasan Rohana Kudus. Emansipasi yang di tawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dan laki-laki, melainkan lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodrati. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya, membutuhkan ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga perempuan membutuhkan pendidikan.
Menurut Rohana, perputaran zaman tidak akan pernah mengubah perempuan untuk menyamai laki-laki. Perempuan tetap perempuan dengan segala kewajiban dan kemampuan kodratnya. Yang berubah adalah perempuan harus bisa mendapat pendidikan dan perlakuan yang layak, tidak untuk di takuti, dibodohi, bahkan dianiaya. (Nida Nurjunaeda. 2004, h: 134)
Selamat Hari Pendidikan!
Tut Huri Handayayani!
Esensi Pendidikan adalah Membebaskan manusia dari kebodohan