Oleh: Dr. Sirajul Munir, M.Pd
Wakil Rektor III UIN Mahmud Yunus Batusangkar
Sehari setelah diwisuda, saya resmi memperpanjang daftar pengangguran di Indonesia.
Pikiran saya langsung bekerja: bagaimana cara bertahan hidup tanpa bantuan orang tua, peluang apa yang bisa saya gunakan untuk menambah pendapatan, atau mungkinkah saya memperjauh jarak rantau demi mengadu peruntungan?
Maka, hal pertama yang saya lakukan, terus mengajar di Pesantren Subulussalam Padang Pariaman setiap akhir pekan yang telah saya jalankan sejak semester delapan.
Lalu saya menerima jasa terjemahan mahasiswa yang menggunakan buku-buku teks berbahasa Inggris, kebanyakan dari mahasiswa Program Pascasarjana.
Pernah juga seorang Kepala Bagian Pemda Sumatera Barat mengajak saya les privat untuk memperdalam kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris, dengan kesepakatan saya yang datang ke rumahnya dua kali dalam seminggu.
Sekecil apapun peluang, asal bisa ditukar dengan uang akan saya tangkap. Begitu cara saya bertahan hidup pada waktu itu.
Memasuki pertengahan bulan kedua setelah saya diwisuda, seorang teman dari STAI-PIQ (Sekolah Tinggi Agama Islam Pengembangan Ilmu Al-Quran) mengabarkan penerimaan CPNS di STAIN Mahmud Yunus Batusangkar. Saya ambil formasi Dosen Bahasa Inggris yang daya tampungnya hanya 2 orang, sedang teman saya mengambil formasi Dosen Tafsir yang daya tampungnya lebih sedikit lagi, hanya 1 orang.
Tak ada sedikitpun kebaikan dari masa-masa pengangguran yang saya jalani hampir dua bulan. Seorang jamaah masjid tempat saya tinggal (Baiturrahman) Jalan Jati IV Padang pernah bertanya:
“Masih belum dapat panggilan ya? Hampir setiap lima waktu kita selalu bertemu.”
Entah itu sindiran atau bentuk kepedulian, tapi yang pasti sejak mendengar kata-katanya yang api itu, saya terpaksa pindah-pindah masjid untuk sholat berjamaah, hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan berikut darinya.
Dengan sepenuh-penuh tekad, saya mulai membenamkan diri di atas meja belajar, membahas soal-soal yang telah saya kumpulkan. Kadang saya catat satu persatu pada buku, agar hal-hal yang dipelajari lekat dalam ingatan.
Sesekali saya berkunjung ke Perpustakaan Daerah untuk mencari tambahan materi yang mungkin untuk saya dalami, tanpa harus mengeluarkan uang. Sesekali saya juga jalan kaki ke Sari Anggrek–toko buku terlengkap–untuk membaca kumpulan soal dan pembahasan ujian CPNS tanpa harus membelinya, selain hanya membacanya (sebuah kejujuran yang terdengar amat menyedihkan).
Seleksi tahap pertama dimulai, sayapun mengirimkan lamaran lengkap dengan segala persyaratan. Dalam hitungan minggu saya dipanggil mengikuti tes tahap berikutnya bersama 9 peserta lainnya untuk formasi Bahasa Inggris.
Pagi, setelah sholat subuh, saya bersama teman baik yang dari STAI-PIQ naik bus umum menuju Batusangkar, mengikuti tes tahap kedua.
Saat membaca soal-soalnya, saya tak terlalu kesulitan untuk menjawabnya. Kebetulan materi yang diuji pada saat itu seputar pengetahuan agama meliputi: Al-Quran dan Hadits, Aqidah, Fikih, Sejarah Islam dan Pengetahuan Umum. Persis seperti yang sudah saya persiapkan dan ilmu-ilmu yang saya pelajari saat belajar di MTsN dan MAN waktu dulu. Saya membayangkan tingkat kesulitan soal bagi peserta tes yang latar belakang pendidikannya dari SMP dan SMA (sekolah umum).
Alhamdulillah, bersama 3 peserta lainnya untuk formasi Bahasa Inggris, saya dinyatakan lulus tes tertulis dan lanjut mengikuti tes berikutnya.
Setiap lulus pada tahapan-tahapannya saya selalu mengabarkan orang tua dan meminta doanya. Belum pernah saya belajar berdarah-darah seperti ini, hampir 6 jam sehari, bahkan kadang bisa lebih.
Seleksi tahap ketiga, Tes Potensi Akademik, diadakan di Universitas Negeri Padang (dulu IKIP). Saya bersyukur lantaran saya tinggal di Padang, tak perlu mengeluarkan biaya untuk transportasi.
Saya mengikuti tes tersebut bersama 3 peserta lainnya dengan persiapan yang matang.
Minggu berikutnya, saya dipanggil lagi mengikuti tes wawancara yang merupakan tes tahap akhir. Inilah tahapan yang paling mendebarkan. Apakah nasib akan membawa saya menjadi seorang dosen, atau harus gagal setelah berdarah-darah belajar, setelah berlelah-lelah bolak-balik Padang-Batusangkar mengikuti tahapan-tahapan tes dan setelah uang saya benar-benar habis. Semua saya serahkan pada Tuhan yang Maha Rahman dan Rahim.
Bersama teman saya yang kebetulan sama-sama mengikuti tes pada formasi yang berbeda, kami datang lagi ke Batusangkar.
Saya terpaksa meminjam uangnya untuk ongkos transportasi pulang pergi. Sungguh saya berhutang budi padanya.
Pada tes wawancara, kami diuji langsung oleh Ketua STAIN Batusangkar, Wakil Ketua, dan Dosen Senior Bahasa Inggris. Jujur, saya teramat gugup pada waktu itu, dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang dahsyat. Saya jawab saja sebatas kemampuan. Hasilnya nanti saya serahkan saja semuanya pada Tuhan.
Akhirnya, kabar baik itupun tiba, saya termasuk salah satu yang diterima. Sungguh saya sangat bersyukur dan langsung menyurati Ibu:
“….Alhamdulillah, salah seorang keluarga kita, ditakdirkan menjadi pegawai negeri. Ananda diterima menjadi dosen Bahasa Inggris di STAIN Mahmud Yunus Batusangkar. Terima kasih atas doa-doanya, Mak….”
Sabak!
#25TahunBerlalu
#Bersyukur