Fenomena cadar (niqab) dalam pandangan syariah merupakan masalah yang masih menjadi perdebatan di kalangan para Ulama. Sebagian mengatakan wajib, sebagian lagi mengatakan sunnah dan sebagian lagi berpandangan bahwa cadar (niqab) hanya wajib bagi perempuan yang menawan, bisa menimbulkan fitnah bahkan terancam keselamatannya.
Di samping itu, ada juga sebagian pendapat mengatakan bahwa hijab hanya diperuntukkan bagi isteri-isteri nabi dengan melihat konteks Asbab Nuzul-nya, bukan untuk seluruh muslimah sebagaimana pendapat Al-Mahlab, Ibnu Batthal dan Ibnu Juzayy al-Kalbi.
Dalam konteks ke Indonesiaan, cadar merupakan hal yang “asing” di tengah kehi-dupan masyarakat. Mazhab yang digunakan di Indonesia lebih cenderung berpegang bahwa wajah bukan merupakan aurat yang harus ditutupi.
Sebab, kultur di Indonesia lebih terkenal dengan keramah-tamahan, gotong royong, dan kehidupan sosialnya. Maka, tidak ada sekat yang menjadi jurang pemisah antara laki-laki dan perempuan di tengah kehidupan masyarakat.Sehingga pendapat mayoritas ulama fiqh sudah tertanam dan bersebati dalam jiwa masyara-kat Indonesia.
Pengertian Cadar
Istilah cadar berasal dari bahasa Persi ‘chador’ yang berarti ‘tenda’. Dalam tradisi Iran, cadar adalah pakaian yang menu-tup seluruh anggota badan wanita dari kepala sampai ujung jari kakinya.
Masyarakat India, Pakistan dan Bangladesh menyebutnya purdah, adapun wanita Badui di Mesir dan kawasan Teluk menyebutnya Burqu (yang mnutup wajah secara khusus). Cadar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan).
Dalam bahasa Arab cadar disebut dengan Niqāb.Niqāb bentuk jamaknya Nuqūb. Dalam kamus Al-Munawwir Niqāb berarti kain tutup muka.Dalam kamus Lisaanul Arab kata Niqāb yaitu kain penutup wajah bagi perempuan hingga hanya kedua mata saja yang terlihat.
Arti kata cadar di atas, dapat dipahami bahwa cadar adalah suatu nama yang diperuntukkan bagi pakaian yang berfungsi untuk menutup wajah bagi perempuan dari hidung atau dari bawah lekuk mata kebawah.
Sejarah Cadar
Sejarah manusia pertama di muka bumi, Adam dan Hawa’, telah merasakan butuhnya terhadap pakaian paling tidak yang dapat menutupi kamaluan mereka, atau yang bisa menutupu tubuhnya.
Ketika Adam dan Hawa’ digoda setan untuk memakan buah pepohonan yang sedang dilarang Allah untuk didekati, Adam melanggar perintah tuhannya dengan mengikuti saran setan untuk mema-kan buah pohon khuld yang sedang dilarang itu.
Setelah mengikuti saran setan tampaklah kemaluan keduanya, sehingga merasa malu dan membutuhkan penutup untuk menyem-bunyikan kemaluannya.
Maka, manusia pertamapun telah membutuhkan pakaian untuk menutupi kemaluan atau tubuhnya. Semua manusia kapan dan di mana-pun, maju atau terbelakang, beranggapan bahwa pakaian adalah kebutuhan yang tidak mungkin ditinggalkan.
Kelompok nudis pun yang menganjurkan meninggalkan pakaian, merasa membutuhkannya, paling tidak ketika mereka merasa sengatan dingin.
Masyarakat yang biasa tinggal di Gurun Sahara menutupi seluruh tubuh mereka dengan pakaian, agar terlindungi dari panasnya matahari dan pasir yang biasa berterbangan di gurun yang terbuka.
Begitu pula orang yang tinggal di daerah kutub mengenakan pakaian tebal agar dapat menghangatkan badan mereka.
Al-Quran melukiskan keadaan Adam dan pasangannya sesaat setelah melanggar perintah Tuhan untuk tidak mendekati suatu pohon dan tergoda oleh setan sehingga mencicipinya bahwa, sebagaimana termaktub dalam QS. AlA’raf: 22 ِ
Artinnya: “Ketika keduanya telah mencicipi buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surge. Apakah sebelum mencicipinya mereka telah berpakaian, lalu tanggal pakaian mereka akibat mencicipi buah pohon terlarang itu, atau sebelumnya mereka tidak berpakaian, namun belum menyadari dan setelah mencicipinya mereka sadar?Ini dua kemungkinan yang tidak jelas apalagi memastikan salah satunya.
Menurut Quraish Shihab dalam buku ”Jilbab Pakaian WanitaMuslimah” dijelas-kan, bahwa ayat di atas mengisyarat-kan Adam danpasangannya tidak sekedar menu-tupi aurat dengan selembar daun, tetapi daun di atas daun, sebagaimana dipahami dari kata (yakhsifāni).
Hal tersebut mereka lakukan agar aurat mereka benar-benar tertutup dan pakaian yang mereka kenakan tidak menjadi pakaian mini atau transparan atau tembus pandang.
Ini juga menunjukkan bahwa menutup aurat merupakan fitrah manusia yang diaktualkan oleh Adam dan istrinya pada saat kesadaran mereka muncul, sekali-gus menggambarkan bahwa siapa yang belum memiliki kesadaran seperti anak-anak di bawah umur, maka mereka tidak segan membuka dan memper-lihatkan auratnya.
Tidak, tidak ada ayat atau hadits yang menyatakan secara tegas bahwa kaum muslimah wajib menggunakan cadar, yang ada adalah ketentuan seorang muslimah untuk menutupi auratnya.
Cadar Dalam Pandangan Ulama
Masalah cadar berkaitan dengan ketentuan aurat perempuan. Apakah muka (wajah) termasuk aurat? ini penjelasan para ulama:
فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ ( الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ ) إِلَى أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتُرَهُ فَتَنْتَقِبَ ، وَلَهَا أَنْ تَكْشِفَهُ فَلاَ تَنْتَقِبَ .قَال الْحَنَفِيَّةُ : تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ الشَّابَّةُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ الرِّجَال فِي زَمَانِنَا ، لاَ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ ، بَل لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ
“Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya.
Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk mengindari fitnah,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).
Berbeda dengan madzhab Hanafi, madzhab Maliki menyatakan bahwa makruh hukumnya wanita menutupi wajah baik ketika dalam shalat maupun di luar shalat karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-ghuluw).
Namun di satu sisi mereka berpendapat bahwa menutupi dua telapak tangan dan wajah bagi wanita muda yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah, ketika ia adalah wanita yang cantik atau dalam situasi banyak munculnya kebejatan atau kerusakan moral.
“Madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita memakai cadar artinya menutupi wajahnya sampai mata baik dalam shalat maupun di luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak karena hal itu termasuk berlebihan (ghuluw).
Dan lebih utama cadar dimakruhkan bagi laki-laki kecuali ketika hal itu merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak dimakruhkan ketika di luar shalat. Adapun dalam shalat maka dimakruhkan.
Mereka menyatakan bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan muda yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah wanita yang cantik, atau maraknya kebejatan moral,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).
Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful awla, menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.
“Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah.
Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).