Ferry Daud Liando New
(PP Asosiasi Ilmu Politik Indonesia)
Jumat minggu lalu (28/08) DPR RI telah mengumumkan bahwa tahapan pemilu 2024 sudah akan dimulai pada Januari 2022. Penetapan tersebut masih harus disepakati DPR bersama Kemendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP pada 6 September nanti. Belajar pada pengalaman pemilu 2019, KPU RI telah memulainya dengan tahapan penyusunan Peraturan KPU (PKPU) dan perencanaan program dan anggaran pada Agustus 2017.
Penetapan ini menjadi modal kuat baik oleh penyelenggara maupun peserta pemilu. Persiapan yang panjang ini menjadi peluang bagi KPU untuk merumuskan regulasi, menyusun daftar inventaris masalah kemudian merumuskannya melalui manajemen risiko dan menyempurnakan daftar pemilih.
Regulasi bertujuan tidak sekedar menjadi pedoman bagi tata kelola penyelenggaraan dipihak penyelenggara, akan tetapi memastikan adanya mitigasi atas segala bentuk persoalan yang berpotensi terjadi pada pemilu 2024 berkaca dari pengalaman terjadi pada pemilu 2019 lalu. PKPU tentu tidak boleh melangkahi apa yang menjadi ketentuan UU, namun regulasi itu perlu menjadi instrumen mencegah (management risk) agar dinamika pemilu tidak banyak menimbulkan risiko.
Bagi parpol yang masih waras berpolitik, persiapan panjang ini tentu sangat menguntungkan, karena ruang menyeleksi kader-kader terbaik memiliki waktu yang panjang. Tapi parpol yang memiliki cacat berpolitik yang terbiasa hanya memperjualbelikan kartu tanda anggota (KTA) kepada masyarakat umum untuk menjadi calon, persiapan pemilu yang panjang pasti tidak berpengaruh, bahkan mungkin tak ada manfaat baginya.
Parpol yang hanya akan mengandalkan mahar, kekerabatan dan tidak mewajibkan larangan bagi setiap calon yang diajukannya untuk membeli suara pemilih dan atau menyogok penyelenggara, baik untuk markup suara ataupun pergantian calon terpilih digantikan bukan berdasarkan suara terbanyak berikutnya.
Hal tidak kalah menarik menjadi perhatian publik dari persiapan itu adalah seleksi penyelenggara pemilu. Pada April 2022 penyelenggara di tingkat pusat akan berakhir. Paling lambat 6 bulan, Presiden sudah harus membentuk tim seleksi. Dengan demikian pada Oktober 2021 proses seleksi sudah akan dimulai. Setelah penyelenggara di tingkat pusat terbentuk maka secara bergilir proses seleksi penyelenggara dilakukan di daerah.
Pada periode ini kita mengalami pengalaman buruk terkait penyelenggara pemilu. Komisioner KPU Wahyu Setiawan di tangkap KPK karena menerima suap di pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI Fraksi PDIP periode 2019-2024. Pada tahun 2020 terdapat 209 penyelenggara mendapat sanksi DKPP karena terbukti melanggar kode etik.
Sanksi itu meliputi Teguran Tertulis atau Peringatan untuk 174 Teradu (42,5%), Pemberhentian Sementara untuk dua Teradu (0,4%), Pemberhentian Tetap untuk 26 Teradu (6,3%), dan Pemberhentian dari Jabatan untuk tujuh Teradu (1,7%). Pada tahun 2019 terdapat 33 orang (1,3 persen) mendapatkan sanksi pemberhentian dari jabatan, yang terbagi pada 21 orang pada 2018 dan 12 orang pada 2019. Modus pelanggaran yang sering dilakukan adalah menambah atau mengurangi perolehan suara, perlakuan tidak adil, menerima suap, moralitas dan lain-lain.
Kondisi ini kemungkinan masih akan berpotensi terjadi pada periode penyelenggara berikutnya. Penyebabnya karena UU 7 tahun 2017 yang dijadikan pedoman seleksi penyelenggara tidak direvisi. Input yang bermasalah kerap linier dengan output. Kriteria menjadi penyelenggara menurut UU itu sama persis dengan syarat penerimaan pegawai secara umum.
UU tidak memberikan standar syarat khusus menjadi calon sehingga penyelenggara pemilu terutama di daerah kerap dimanfaatkan sebagian pihak hanya untuk sekedar agar mendapatkan pekerjaan memenuhi kebutuhan ekonomi semata.
Diskursus yang terus saja berkembang di arena publik selama ini adalah terkait pro kontra pelabelan dan dominasi organisasi kemasyarakatan (ormas) dalam seleksi penyelenggara pemilu.
Sebagian keberatan jika penyelenggara merupakan representasi ormas. Pihak ini beralasan bahwa ada banyak ormas yang merupakan underbow atau sub ordinatnya parpol. Tidak terstruktur tapi dalam sejarah kepentingan dan pembentukannya punya kedekatan dan hubungan emosional yang erat. Ada banyak elit-elit berpengaruh sering merepresentasikan ormas dalam struktur parpol. Dalam usaha mempertahankan kekuasaan dalam jabatan publik atau sebagai balas budi terhadap ormas maka ada upaya baginya berusaha menempatkan kader-kader ormas sebagai penyelenggara pemilu.
Sebaliknya, pihak yang mendukung representasi ormas menjadi penyelenggara beralasan bahwa fungsi ormas adalah pemberdayaan kader-kadernya untuk diperjuangkan pada jabatan-jabatan publik. Kebanyakan kader ormas telah teruji kepemimpinan dan berpengalaman.
Kedua alasan ini memiliki nilai kebenaran dan tentu bisa dimaklumi. Bisa jadi saya juga punya pendapat dan alasan yang sama jika berada disalah satu posisi itu. Memperebutkan posisi sebagai penyelenggara pemilu bagi ormas disatu sisi dapat dimaklumi, apalagi jika usaha itu untuk alasan visi organisasi untuk pemberdayaan kader. Namun jika wakil ormas dalam posisi penyelenggara memiliki misi khusus, tentu hal ini yang patut dicegah.
Periodisasi penyelenggara tidaklah sama di setiap daerah. Ada yang akan habis ketika tahapan krusial tidak bisa ditunda seperti pada saat tahapan pencoblosan, saat penetapan rekapitulasi suara ataupun menjadi teradu di mahkamah konstitusi. Namun demikian penyelenggaranya harus dilakukan pergantian karena masa jabatan berakhir.
Tahapan yang krusial itu akan sangat sulit tangani oleh penyelenggara yang baru. Walaupun bagi penyelenggara belum memiliki pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu namun jika penyelenggara itu memiliki modal kepemimpinan, team work yang baik, relasi sosial yang luas serta kemampuan dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat tentu itu sangat membantu. Kader-kader yang memiliki pengalaman panjang sebagai anggota ormas kebanyakan memiliki modal soal kemampuan yang dibutuhkan itu.
Namun ada beberapa hal yang masih membelenggu dan perlu dicarikan jalan keluarnya yaitu :
Pertama, potensi adanya konflik kepentingan. Menjadi penyelenggara harus memperlakukan semua peserta pemilu secara adil baik dalam pelayanan administrasi, keputusan maupun dalam setiap putusan hukum. Namun konflik kepentingan bisa saja terjadi apabila salah satu kontestan yang berkepentingan memiliki kedekatan emosional dengan penyelenggara karena faktor kesamaan identitas ormas.
Kedua, jangan sampai yang akan dipilih menjadi penyelenggara lebih dipentingkan label ormas ketimbang kapasitas dan integritas. Kondisi yang sering terjadi pada proses seleksi di banyak daerah, keterpilihan penyelenggara melalui tim seleksi kerap tidak lagi memperhatikan soal kapasitas namun lebih kepada perwakilan ormas yang melekat. Pihak yang mempersoalkan representasi ormas, sesungguhnya tidak mempersoalkan reputasi ormasnya tapi kapasitas dan kemampuan yang terbatas namun dengan mudah terpilih mengalahkan calon yang jauh lebih berkualitas.
Ketiga, perlu dicegah soal kompetisi ormas dalam setiap seleksi penyelenggara maupun penjatahan dalam memperebutkan posisi ketua penyelenggara. Di sejumlah daerah, fenomena ini kerap melahirkan konflik internal penyelenggara dan berujung pada buruknya kualitas penyelenggaraan.
Keempat, perlu dikendalikan jangan sampai komposisi penyelenggara tidak memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal suatu daerah sehingga berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik di suatu daerah. Untuk hal ini perlu banyak belajar dari strategi kepolisian dalam penempatan pejabatnya di daerah.
Pemilu 2024 sangat berat dibanding pemilu sebelumnya.
Pertama, untuk pertama kali pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota dan pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan dalam tahun yang sama dengan pelaksanaan pilkada. Sebelumnya dilakukan dalam tahun yang terpisah.
Kedua, untuk pertama kalinya pilkada dilakukan serentak secara nasional. Sebelumnya ada 4 kali dilakukan pilkada serentak namun secara bergelombang.
Ketiga, sejak era reformasi untuk pertama kalinya pelaksanaan pemilu tidak menggunakan UU pemilu hasil revisi. Pemilu 2024 masih akan menggunakan UU 7 tahun 2017. Masalah yang sempat membelenggu pada pemilu 2019 kemungkinan besar berpotensi akan terulang lagi pada pemilu 2024 karena masih menggunakan UU yang sama.
Untuk membendung pro dan kontra terbentuknya politik identitas bagi penyelenggara pemilu maka salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membiasakan sistem meritokrasi dalam seleksi penyelenggara. Meritokrasi banyak dikenal dalam penjenjangan jabatan birokrasi pemerintahan. Secara sederhana meritokrasi dapat dirumuskan sebagai suatu sistem sosial yang menempatkan imbalan, kedudukan dan jabatan berdasarkan kemampuan atau kecakapan dan bukan berdasarkan faktor-faktor askriptif seperti kelas sosial, gender, kesukuan ataupun kekayaan seseorang.
Karena mengutamakan kecakapan dan kemampuan, maka pengangkatan jabatan dilakukan atas dasar pengalaman jabatan. Syarat untuk diangkat menjadi pejabat eselon I harus pernah mendudukui jabatan eselon II. Pejabat eselon II harus pernah menduduki jabatan eselon III dan begitu seterusnya.
Jika politik identitas penyelenggara ternyata tidak bisa dicegah maka cara untuk mengimbangi adalah dengan cara sistem meritokrasi dalam seleksi penyelenggara pemilu. Menjadi penyelenggara ditingkat kabupaten/kota minimal pernah menjadi penyelenggara di tingkat ad hoc. Menjadi penyelenggara di tingkat provinsi, harus pernah menjadi penyelenggara di tingkat kabupaten/kota. Demikian juga bagi penyelenggara di pusat wajib pernah menjadi penyelenggara di tingkat daerah.
Sepanjang seseorang penyelenggara terpilih karena faktor politik identitas tidak dimanfaatkan untuk kepentingan membela kontestan yang berasal dari ormas yang sama, maka sistem meritokrasi adalah salah satu jawaban atau sebagai jalan tengah memediasi antar pihak yang bersikap pro kontra mengenai intervensi ormas dalam seleksi penyelenggara pemilu.
Jadi meski calon melekat identitas ormas namun memiliki kapasitas dan track record yang bagus, maka tidak mungkin untuk dipersoalkan sebagai penyelenggara sepanjang konflik kepentingan dapat dicegah, dan memiliki kecakapan dalam menyelenggarakan tahapan pemilu lebih profesional dan berintegritas. Untuk menyemangati bawahannya dalam membangun Negara Cina, Deng Xiaoping pernah mengutip pepatah sichuan bahwa baginya tidak masalah mau kucing kuning atau kucing hitam, asalkan bisa menangkap tikus