Oleh: Novi Budiman, S.IP., M.Si
Dosen Prodi Politik Islam UIN MY Batusangkar
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 semakin dekat, dan dinamika politik lokal semakin panas. Fenomena menarik yang muncul dalam beberapa bulan terakhir adalah fast food politics atau politik cepat saji. Terminologi “fast food politics” digunakan untuk menggambarkan fenomena politik yang serba cepat dan instan, mengorbankan kualitas demi kuantitas dan popularitas.
Dalam konteks Pilkada, Konsep “fast food politics” mencerminkan bagaimana kampanye politik dijalankan dengan pendekatan serba instan, mirip dengan cara makanan cepat saji disajikan: cepat, praktis, namun minim nilai gizi. Politik cepat saji muncul sebagai respons terhadap tuntutan zaman yang serba cepat dan instan. Kampanye politik kini mengutamakan kecepatan dalam penyampaian pesan dan daya tarik visual untuk meraih perhatian pemilih.
Media sosial menjadi alat utama dalam strategi ini, dengan kandidat dan partai politik menggunakan platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram untuk menyebarkan pesan-pesan singkat yang viral. Di satu sisi, pendekatan ini efektif dalam menjangkau khalayak luas dengan cepat. Pemilih mendapatkan informasi secara instan dan dapat berinteraksi langsung dengan kandidat melalui komentar dan pesan.
Namun, kecepatan ini seringkali mengorbankan kedalaman dan kualitas informasi. Pesan-pesan kampanye yang disampaikan cenderung dangkal, hanya berisi slogan catchy dan janji-janji bombastis tanpa penjelasan rinci tentang rencana dan kebijakan.
Dalam konteks pilkada, calon kepala daerah seringkali mengandalkan kampanye yang bersifat instan dan pragmatis. Alih-alih memperkuat basis ideologi atau menyusun program yang komprehensif, para kandidat lebih memilih jalan pintas dengan menggunakan strategi kampanye yang mudah dicerna oleh masyarakat.
Media sosial menjadi alat utama dalam menyebarkan pesan-pesan kampanye yang singkat namun menarik perhatian. Fenomena ini mirip dengan iklan makanan cepat saji yang menonjolkan visual yang menarik tanpa memperhatikan kandungan nutrisi di baliknya. Seperti halnya produk fast food yang mengandalkan gimmick untuk menarik pelanggan, politisi dalam pilkada juga sering menggunakan strategi serupa.
Mereka mengandalkan popularitas instan dengan menghadirkan program-program populis yang mudah diingat oleh masyarakat. Misalnya, janji pemberian bantuan langsung tunai, pembangunan infrastruktur yang bombastis, atau acara-acara amal yang hanya bersifat seremonial. Langkah-langkah ini seringkali tidak disertai dengan perencanaan yang matang dan tidak berkelanjutan.
Pendekatan politik ala fast food ini mengabaikan esensi demokrasi yang seharusnya mengedepankan partisipasi aktif masyarakat dan perdebatan substantif mengenai isu-isu penting.
Dalam pilkada, calon kepala daerah seharusnya tidak hanya fokus pada kemenangan instan tetapi juga pada penyusunan kebijakan yang berdampak jangka panjang bagi masyarakat. Sayangnya, fast food politics cenderung meminggirkan proses deliberasi dan diskusi mendalam, menggantinya dengan slogan-slogan singkat yang minim makna.
Pendekatan instan ini dapat berdampak negatif pada kualitas pemerintahan di daerah. Kebijakan yang dihasilkan dari kampanye fast food politics cenderung tidak berkelanjutan dan tidak menjawab kebutuhan mendasar masyarakat. Selain itu, masyarakat juga berpotensi menjadi apatis terhadap proses politik karena merasa hanya dijadikan objek manipulasi kampanye yang dangkal.
Untuk mengatasi fenomena fast food politics, diperlukan upaya serius dari berbagai pihak. Calon kepala daerah harus lebih fokus pada penyusunan program yang substansial dan berorientasi jangka panjang. Partai politik perlu mendukung kader yang memiliki visi dan misi yang jelas, bukan hanya yang populer secara instan. Selain itu, media juga berperan penting dalam memberikan edukasi politik yang mendalam kepada masyarakat.
Masyarakat sebagai pemilih juga harus lebih kritis dalam menyikapi kampanye politik. Tidak cukup hanya terpikat dengan janji-janji instan dan popularitas sesaat. Pemilih harus lebih cermat dalam menilai kualitas program dan visi misi yang ditawarkan oleh para calon. Hanya dengan cara ini, pilkada dapat kembali pada esensinya sebagai proses demokratis yang mendalam, substantif, dan berkelanjutan.
Pilkada ala fast food politics mungkin menawarkan daya tarik instan, tetapi pada akhirnya mengabaikan esensi demokrasi yang sesungguhnya. Untuk memastikan bahwa pilkada menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan kebijakan yang berdampak positif bagi masyarakat, semua pihak harus berupaya untuk menghindari pendekatan serba instan dan kembali pada prinsip-prinsip demokrasi yang sejati.