Oleh: Syahril Karim
(Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makasar)
Sepintas judul di atas seolah-olah mengperhadap-hadapkan antara Tuhan dan Cipataannya yakni manusia. Padahal memang antara Tuhan dan manusia adalah sepasang “kekasih”, manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Mempunyai kedudukan special diantara mahluk cipataan lainnya bahkan malaikat sekalipun hormat dan sujud kepadanya. Manusia punya kelebihan yang tak dimiliki diantara mahluk lainnya.
Sehingga wajar kalau manusia punya derajat untuk diberi tugas special pula dalam mengatur ciptaan Tuhan di muka bumi ini yakni sebagai khalifah. Tuhan tidak begitu saja memberi tugas yang maha berat kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi ini tanpa ada bekal mumpuni.
Oleh karenanya, Tuhan memberi hidayah berupa kecerdasan akal dan segala potensi lainnya kepada ciptaanNya yang namanya manusia ini. Di sinilah awal mula perbincangan posisi manusia sebagai khalifah.
Dalam surah al-Baqarah ayat 30, yang artinya: ..”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”. Oleh ar-Razi ada dua pengertian khalifah dalam ayat di atas: pertama Adam sebagai pengganti jin untuk menempati dunia, setelah jin ditiadakan sebagai penghuni bumi terdahulu.
Kedua Adam adalah penguasa Bumi, sebagai pengganti Allah dalam menegakkan hukum-hukumnya diatas bumi (Ilyas,2016). Makna kedua dari khalifah di atas cukup memberi gambaran kepada kita bahwa manusia begitu jelas tugas dan fungsinya di muka bumi ini.
Manusia punya kuasa untuk mengatur dan menegakkan hukum Tuhan berdasarkan kemampuan akal yang dimiliki. Atau dengan kata lain manusia punya kedaulatan “penuh” untuk mengatur.
Ketika segala potensi yang dimiliki oleh manusia dijalankan dengan baik maka sangat diyakini kedaulatan Tuhan akan terjaga dengan baik dalam bingkai kebenaran ilahiyah. Disinlah titik awal momentum posisi “kedaulatan” manusia yang sebenarnya.
Ketika penciptaan manusia pertama mulai Nabi Adam, Hawa sampai beranak-pinak sampai akhirnya berbangsa-bangsa dan seterusnya dengan beragam karakter menuntut manusia sadar akan takdirnya sebagai mahluk social.
Tentu ini adalah sebuah realitas yang menjadi tugas pokok atau kewajiban bagi manusia sebagai Khalifah di muka bumi ini untuk mengatur lalulintas berbagai kepentingan manusia tersebut.
Sistem politik sebagai seni mengatur umat manusia dengan berbagai macam karakternya butuh konsep yang jelas dan diantara konsep dianggap paling baik (diantara yang terburuk) adalah demokrasi.
Ber-demokrasi adalah salah satu cara yang diyakini (untuk sementara yang diantara system yang lain) yang baik untuk bisa mengatur kepentingan yang beragam tersebut.
Prinsip syura dalam demokrasi adalah ruh yang mengandung spirit rabbaniyah sedangkan demokrasi adalah spirit nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah) yang mesti saling melengkapi.
Akhirnya, bisa dikatakan bahwa berdemokrasi telah menjadi takdir untuk tetap menjaga Kedaulatan Tuhan dan kebenaran ajaran-Nya di muka bumi ini. Sistem demokrasi tidaklah bermaksud mengambil alih kekuasaan Tuhan untuk memerintah,
melainkan demokrasi ingin menjelaskan bahwa sistem pemerintahan yang dipilih dan dikontrol oleh rakyat bertujuan untuk mencegah terjadinya tirani oleh individu atau kelompok elit tertentu dalam kehidupan umat manusia di bumi ini.
Demokrasi yang diartikan sebagai kedaulatan Rakyat sepatutnya tidak boleh diperhadapkan dengan kedaulatan Tuhan. Sehingga seakan-akan antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat sejajar,
padahal manusia adalah cipataan Tuhan tentu tidak patut untuk disejajarkan dengan penciptanya. Kedaulatan Tuhan hanya bisa dilaksanakan lewat Manusia.